A. Umum
Indonesia
sebagai negara agraris dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumberdaya
pertanian yang melimpah dan seharusnya dapat dijadikan modal dasar untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Pada masa lalu,
sejak zaman Hindia Belanda,
Indonesia
merupakan negeri yang mengekspor hasil pertanian ke seluruh negara-negara Eropa
Barat.
Memasuki abad ke 21, Indonesia yang masih merupakan
negara agraris ternyata dibanjiri produk pertanian dari negara-negara lain.
Kondisi ini dapat dikatakan merupakan indikator bahwa produk komoditi pertanian
Indonesia
kurang mampu bersaing dengan produk komoditi pertanian dari luar.
Pada
era liberalisasi perdagangan dewasa ini, daya saing antar negara tidak
ditentukan hanya oleh melimpahnya sumberdaya alam tetapi lebih ditentukan oleh
kemampuan sumberdaya manusia negara yang bersangkutan dalam memproduksi barang
dan jasa untuk diperdagangkan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Menurut Human
Development Index (HDI), Indonesia
berada pada peringkat 112 dari 170 negara anggota PBB. Angka ini dapat menjadi
indikator tentang rendahnya daya saing sumberdaya manusia Indonesia dalam
persaingan regional maupun global.
Oleh
karena itu, untuk meningkatkan daya saing petani dan pelaku usaha pertanian
lainnya perlu lebih ditingkatkan upaya mengembangkan kemampuan, pengetahuan,
keterampilan dan sikap petani beserta keluarganya dan pelaku usaha pertanian
lainnya melalui proses pembelajaran agar mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan
dirinya, memiliki akses ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya
untuk bekerjasama yang saling menguntungkan dalam memecahkan masalah yang
dihadapi, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha,
pendapatan, dan kesejahteraannya.
B. Peranan Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan
pertanian di Indonesia berkembang melalui beberapa tahap. Dalam periode sebelum
tahun 1960, penyuluhan pertanian dilaksanakan berdasarkan pendekatan “tetesan
minyak” melalui petani-petani maju dan kontak tani. Metode yang digunakan
terutama melalui kursus tani mingguan bagi petani dewasa, wanita dan pemuda.
Selain itu dilaksanakan juga kunjungan keluarga dan propaganda program
peningkatan produksi.
Dalam
periode 1975-1990, sistem latihan dan kunjungan (LAKU) mendominasi sistem
kerja penyuluh pertanian di Indonesia terutama di daerah-daerah produksi
padi. Sistem ini diperkenalkan dan dilaksanakan dengan dukungan Bank Dunia
melalui Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan (NFCEP) tahun 1975 dan diikuti oleh
Proyek Penyuluhan Pertanian Nasional (NAEP I dan NAEP II). Tujuan kedua proyek
tersebut pada intinya adalah untuk meningkatkan produksi komoditi pertanian
tertentu, dimulai dengan hasil pertanian utama yaitu padi yang masih menerapkan
teknologi yang kurang produktivitasnya, dengan jalan mendiseminasikan teknologi
usahatani, yang dikenal dengan Panca Usaha dan Sapta Usaha.
Penyuluh
pertanian, yang pada waktu itu dikenal dengan Penyuluh Pertanian Lapangan
(PPL), dilatih untuk mengajar petani dan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi
yang telah disusun dalam paket-paket teknologi. Sistem ini merupakan sistem
kerja yang berdasarkan manajemen waktu yang ketat dan mengalihkan teknologi
dimana petani hanya dianggap sebagai pengguna teknologi yang dihasilkan lembaga-lembaga
penelitian.
Khusus
mengenai program BIMAS, keberhasilannya ditentukan oleh beberapa hal sebagai
berikut:
1. Didukung
oleh political will yang kuat langsung dari Presiden yang diturunkan
sampai ke Kepala Desa. Setiap minggu Provinsi lokasi Bimas Padi harus
mengirimkan laporan mengenai perkembangan pelaksanaan Bimas Padi ke Departemen
Pertanian dan ke Bina Graha.
2. Sifatnya
sentralistis, pelaksana dan petani peserta Bimas di daerah harus mengerjakan
apa yang diinstruksikan oleh Pemerintah yang umumnya sudah dalam bentuk paket,
termasuk paket teknologi usahatani (Panca Usaha dan Sapta Usaha).
3. Petani
mendapatkan subsidi.
4. Delivery
system diorganisasikan dalam bentuk Catur Sarana dan receiving
mechanism-nya adalah kelompok tani.
5. Kelembagaan
yang mengelola program Bimas seragam.
6.
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) berfungsi optimal sebagai basis (homebase)
penyuluhan pertanian yang dibagi dalam Wilayah Kerja BPP (WKBPP), Wilayah Kerja
Penyuluh Pertanian (WKPP) dan Wilayah Kelompok (Wilkel).
7.
Anggaran besar, tersedia sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
8.
Didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai.
9.
Didukung oleh penyuluh pertanian yang relatif masih muda sehingga mobilitasnya
tinggi dan mempunyai otoritas yang tinggi.
10.
Menggunakan sistem kerja LAKU sebagai sistem kerja para penyuluh pertanian.
Sistem
Bimas dilaksanakan hanya pada beberapa komoditi tertentu yang dikoordinasikan
oleh Sekretariat Badan Pengendali Bimas di pusat dan di daerah oleh Satuan
Pembina Bimas Provinsi dan Satuan Pelaksana Bimas Kabupaten. Sekretariat Badan
Pengendali Bimas di Pusat juga berfungsi sebagai satuan administrasi pangkal
para penyuluh pertanian.
Pada
kondisi di atas, para penyuluh pertanian semuanya dikerahkan untuk mensukseskan
Program Bimas dalam rangka swasembada beras, sehingga program peningkatan
produksi komoditas di luar beras tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Walaupun Departemen Pertanian merekrut tenaga penyuluh pertanian khusus untuk
menangani komoditas non beras, yang berstatus dipekerjakan di daerah, ternyata
juga tidak memberikan hasil yang optimal karena tidak didukung oleh
perangkat-perangkat seperti pada Program Bimas, termasuk penyediaan dananya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, Sistem Kerja LAKU pun mengalami kemunduran, petani
yang hadir dalam pertemuan dua mingguan di hamparan makin berkurang. Laporan
studi Bank Dunia tahun 1995 menggambarkan makin banyak petani yang kurang puas
dengan sistem ini. Penyuluh pertanian tidak lagi dianggap sebagai sumber
informasi untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi petani dalam
usahataninya.
Pada
tahun-tahun berikutnya Pemerintah mengembangkan pendekatan penyuluhan pertanian
partisipatif diantaranya model Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu,
model yang dikembangkan oleh KUF, Delivery, P4K dan DAFEP.
Dalam
pelaksanaannya, ternyata dari masa ke masa penyelenggaraan penyuluhan pertanian
dilakukan tidak berdasarkan sistem dan mekanisme yang baku yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang kuat.
C. Petani dan Kelembagaannya
Berdasarkan
data Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) meningkat
2,2 % per tahun dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun
2003. Sementara itu, Petani Gurem meningkat 2,6 % per tahun dari 10,8 juta pada
tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Prosentase RTP Gurem dibanding
RTP pengguna lahan naik dari 52,7 % pada tahun 1993 menjadi 56,5 % pada tahun
2003. Hal ini menunjukkan kemiskinan petani meningkat selama dekade 1993-2003.
Dengan
kondisi petani seperti ini, maka semua program pembangunan pertanian yang
diluncurkan oleh Pemerintah, dan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga
penelitian, serta modal yang disalurkan oleh lembaga keuangan hampir dipastikan
tidak akan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh petani. Oleh karena itu upaya
pemberdayaan petani melalui penyuluhan pertanian harus selalu ditingkatkan.
Penyuluhan pertanian merupakan suatu keniscayaan sekaligus merupakan kewajiban
Pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pemberdayaan melalui penyelenggaraan
penyuluhan pertanian diperlukan untuk mengubah pola pikir, sikap dan perilaku
guna membangun kehidupan dan penghidupan petani yang lebih baik secara
berkelanjutan.
Pemberdayaan
petani dan keluarganya melalui penyelenggaraan penyuluhan pertanian seperti di
atas tidak mungkin dilaksanakan dengan pendekatan individu, karena jumlah dan
sebaran petani sangat besar dan luas serta terbatasnya sumberdaya penyuluhan.
Dengan demikian penyuluhan pertanian harus dilakukan melalui pendekatan
kelompok. Pendekatan ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang
kuat agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar,
kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya. Sampai
saat ini jumlah kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani,
1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S.
Kelembagaan
petani ini belum sepenuhnya berfungsi sebagai unit ekonomi, sehingga kedepan
harus diarahkan untuk lebih berorientasi pasar, berbasis pada sumber daya lokal
dan kompetensi petani untuk mendapatkan berbagai kemudahan akses terhadap
permodalan, teknologi, pemasaran, dan sarana produksi.
D. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian
Kegiatan
penyuluhan pertanian adalah kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus
diorganisasikan dengan baik. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan
dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi,
manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan
pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian Pemerintah, petani dan
swasta.
Sampai
dengan sekarang, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di
Provinsi tidak ada, tetapi fungsi penyuluhan pertanian di beberapa Provinsi
dilaksanakan oleh Dinas atau Badan lingkup pertanian. Namun demikian
penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi, karena mandat
untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sekarang
ini 375 dari 435 Kabupaten/Kota (86 %) mempunyai kelembagaan penyuluhan
pertanian dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok
Penyuluh Pertanian. Sedangkan 61 Kabupaten/Kota (14 %) bentuk kelembagaannya
tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang
terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187
Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).
Secara umum masalah yang
dihadapi kelembagaan penyuluhan pertanian adalah sebagai berikut:
1. Fungsi
penyuluhan pertanian di Provinsi belum berjalan optimal karena mandat untuk
melaksanakan penyuluhan pertanian tidak tegas.
2. Beragamnya
bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota (7 bentuk) menggambarkan
beragamnya persepsi Kabupaten/Kota tentang posisi dan peran strategis
kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota. Kondisi ini menyebabkan:
a. Kelembagaan penyuluhan
pertanian yang berbentuk Kantor/Balai/Subdin/Seksi/Kelompok Jabfung/UPTD, sulit
mengkoordinasikan instansi terkait karena eselonnya lebih rendah dari instansi
yang akan dikoordinasikan;
b. Kelembagaan penyuluhan
pertanian yang berbentuk Subdin/Seksi/Kelompok Jabfung/UPTD, fungsi penyuluhan
masih bercampur dengan fungsi pengaturan dan pengendalian. Hal ini menyebabkan
berkurangnya independensi penyuluh pertanian.
c. Intervensi Pemerintah
untuk mengatur bentuk dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian di
Kabupaten/Kota tidak memungkinkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Belum
semua Kecamatan memiliki BPP. Adapun BPP yang ada sekarang ini kurang
difungsikan dengan baik oleh Kabupaten/Kota, bahkan di beberapa Kabupaten/Kota
dialihfungsikan untuk kegiatan lain.
4.
Kurang difungsikannya BPP mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan
pertanian kurang terencana dan tidak diprogramkan sesuai dengan kebutuhan di
lapangan. Kondisi ini juga menyebabkan kurang atau tidak tersedianya biaya
operasional penyuluhan pertanian di Kecamatan/Desa.
5.
Dengan diserahkannya personil, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen (P3D)
dari Pemerintah ke Provinsi/Kabupaten/Kota, maka kepemilikan aset kelembagaan
penyuluhan pertanian beralih ke Provinsi/Kabupaten/Kota. Dalam kenyataannya
penggunaan aset ini tidak sesuai dengan keperluan untuk menyelenggarakan
penyuluhan pertanian. Akibatnya penyuluh pertanian tidak mendapatkan dukungan
sarana penyuluhan pertanian yang memadai sehingga kinerjanya menurun.
6.
Pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota
banyak yang tidak mempunyai latar belakang penyuluhan pertanian. Hal ini
menyebabkan pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian
sering tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian, karena
pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian kurang memahami arti dan
peran strategis penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian di wilayah
kerjanya.
7.
Sistem penyuluhan pertanian yang disepakati bersama belum ada. Hal ini
menyebabkan tidak jelasnya hubungan antara kelembagaan penyuluhan pertanian di
tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, sehingga struktur dan mekanisme
pembinaan dan tata hubungan kerja juga menjadi tidak jelas.
8.
Kabupaten/Kota belum sepenuhnya menjalankan kewenangan wajib dalam
penyelenggaraan penyuluhan pertanian sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hal ini menyebabkan masih banyaknya Kabupaten/Kota yang belum menyusun
program penyuluhan pertanian, belum melakukan pembinaan terhadap penyuluh
pertanian dan minimnya biaya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di
Kabupaten/Kota.
9.
Kelembagaan penyuluhan pertanian yang dimiliki dan dioperasionalkan baik
oleh petani maupun oleh swasta, belum dimanfaatkan secara optimal oleh
Pemerintah sebagai mitra kerja sejajar untuk melayani petani.
E. Ketenagaan Penyuluhan Pertanian
Keragaan
tenaga penyuluh pertanian dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang sangat
signifikan. Pada tahun 1999 jumlah penyuluh pertanian tercatat sebanyak 37.636
orang. Setelah otonomi daerah diberlakukan pada tahun 2001, jumlah penyuluh
pertanian berkurang menjadi 33.659 orang. Dalam kurun waktu empat tahun
kemudian, jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis menjadi 25.708 orang
(data Mei 2005) ditambah 1.634 orang penyuluh pertanian honorer. Seluruh penyuluh
pertanian ini tersebar secara tidak merata di 3.557 BPP.
Kondisi tenaga penyuluh
pertanian pada saat ini adalah sebagai berikut:
1. Penyebaran
dan kompetensi tenaga penyuluh pertanian masih bias kepada sub sektor pangan,
khususnya padi. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya pelayanan penyuluhan
pertanian kepada petani yang mengusahakan komoditas non pangan.
2.
Banyak alih tugas penyuluh pertanian ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan
kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tenaga
penyuluh pertanian di Kabupaten/Kota tersebut yang mengakibatkan tidak
sebandingnya jumlah tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah petani/
kelompoktani yang harus dilayani. Kondisi ini juga menyebabkan banyak penyuluh
pertanian yang frustasi karena ditempatkan pada jabatan yang tidak sesuai
dengan kompetensinya.
3.
Pada beberapa Kabupaten/Kota, pengukuhan kembali penyuluh pertanian sebagai
pejabat fungsional belum dilakukan sehingga penyuluh pertanian tidak diakui
eksistensinya dan tunjangan fungsionalnya banyak yang tidak dibayarkan atau
dibayarkan tidak sebesar seperti seharusnya. Kondisi ini menyebabkan
berkurangnya motivasi penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik.
4.
Kenaikan pangkat sering terlambat dan pola karir tidak jelas sehingga kondisi
ini juga mengurangi motivasi dan kinerja para penyuluh pertanian untuk bekerja
lebih baik dan seringkali menyebabkan frustasi.
5.
Rekruitmen dan pembinaan karier penyuluh pertanian belum sepenuhnya berpedoman
pada SK MenkowasbangPAN No.19/1999 dan ketentuan usia pensiun bagi penyuluh
pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku.
6.
Peningkatan kompetensi penyuluh pertanian, terutama melalui Diklat, sudah
jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh
pertanian dalam menjalankan tugasnya dan menurunnya kredibilitas mereka di mata
petani.
7.
Penyetaraan penyuluh pertanian dari pendidikan SLTA ke DIII belum
terselesaikan. Kondisi ini menyebabkan mereka dapat diberhentikan sebagai
pejabat fungsional.
8.
Usia penyuluh pertanian sebagian besar di atas 50 tahun. Kondisi ini
menyebabkan 10 tahun yang akan datang jumlah penyuluh pertanian menjadi sangat
berkurang karena memasuki usia pensiun.
9.
Penyuluh Pertanian Swakarsa dan Swasta belum berkembang dengan baik, karena
pembinaannya belum terprogram dan belum didukung oleh peraturan
perundang-undangan. Kondisi ini menyebabkan belum optimalnya peranserta petani
dan swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
10.
Biaya operasional untuk penyuluh pertanian yang disediakan oleh Kabupaten/Kota
tidak memadai. Hal ini menyebabkan frekuensi dan intensitas kunjungan penyuluh
pertanian ke petani sangat kurang.
F. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian
Penyelenggaraan
penyuluhan pertanian yang dilakukan selama ini belum dapat memberdayakan petani
dan pelaku usaha pertanian lain karena belum adanya kesatuan persepsi, sehingga
dalam penyelenggaraannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan
pertanian.
Penyuluhan
pertanian diselenggarakan dengan prinsip: (1) terdesentralisasi, (2)
partisipatif, (3) keterbukaan, (4) keswadayaan, (5) kemitrasejajaran, (6)
akuntabililitas, dan (7) keterpaduan.
Permasalahan
yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan
penyuluhan pertanian belum dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip penyuluhan
partisipatif dan belum dilaksanakan secara terpadu sebagai bagian dari suatu
sistem pemberdayaan petani. Hal ini menyebabkan kurangnya peranserta
petani dan terputusnya jaringan kerjasama antara penyuluhan pertanian dengan
kegiatan pemberdayaan petani lainnya (penelitian, penyediaan sarana produksi
pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran).
2.
Penyusunan programa penyuluhan pertanian tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan
serta belum didasarkan pada prinsip-prinsip penyusunannya. Kondisi ini
menyebabkan programa yang disusun tidak realistis dan belum mencerminkan
kebutuhan petani.
3.
Belum mendorong kemitraan dengan petani, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Keadaan ini menyebabkan keterlibatan dan penumbuhan penyuluh pertanian
swakarsa dan swasta, sebagai bagian dari jaringan penyuluhan pertanian, kurang
berjalan dengan baik.
4.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih berorientasi keproyekan dan
kegiatannya masih bersifat parsial serta belum didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan penyuluhan
pertanian pada keberadaan proyek.
5.
Materi dan metode penyuluhan pertanian belum sepenuhnya mendukung pengembangan
agribisnis komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi
dan keterbatasan sumberdaya. Kondisi ini menyebabkan dinas-dinas lingkup
pertanian merasa tidak mendapatkan dukungan kegiatan penyuluhan pertanian.
G. Sumberdaya Penyuluhan Pertanian
Sumberdaya
penyuluhan pertanian sangat diperlukan oleh penyuluh pertanian agar dapat
menyelenggarakan penyuluhan pertanian dengan produktif, efektif dan efisien.
Sumberdaya penyuluhan pertanian meliputi informasi dan teknologi, sarana dan
prasarana serta pembiayaan penyuluhan pertanian.
Permasalahan
yang dihadapi dalam penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya penyuluhan pertanian
sebagai berikut
1. Sulitnya
mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik
lokalita karena terbatasnya kemampuan penyuluh pertanian untuk mengakses
sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang
berkembangnya pengetahuan, kemampuan dan wawasan penyuluh pertanian untuk
menyediakan materi penyuluhan yang dibutuhkan petani.
2. Terbatasnya
sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya. Kondisi ini menyebabkan rendahnya mobilitas penyuluh pertanian
dan kurang optimalnya pelayanan terhadap petani.
3.
Pembiayaan penyuluhan pertanian yang bersumber dari
Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota baik melalui dana dekonsentrasi, dana
alokasi umum (DAU), dan APBD maupun kontribusi dari petani dan swasta masih
sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian
tidak optimal, yang pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan program
Terimakasih,halinijadi bahan dalam rangka menyusun kebijakan baru tentang penyelenggaraan penyuluhan sesuai kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan
BalasHapusSaya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
BalasHapusTerima kasih, Busarakham.