Sabtu, 16 Maret 2013

KEADAAN DAN PERMASALAHAN PENTULUHAN PERTANIAN



A.               Umum

          Indonesia sebagai negara agraris dikaruniai oleh Tuhan Yang Maha Kuasa potensi sumberdaya pertanian yang melimpah dan seharusnya dapat dijadikan modal dasar untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat.  Pada masa lalu, sejak zaman Hindia Belanda, Indonesia merupakan negeri yang mengekspor hasil pertanian ke seluruh negara-negara Eropa Barat.
Memasuki  abad ke 21, Indonesia yang masih merupakan negara agraris ternyata dibanjiri produk pertanian dari negara-negara lain. Kondisi ini dapat dikatakan merupakan indikator bahwa produk komoditi pertanian Indonesia kurang mampu bersaing dengan produk komoditi pertanian dari luar.
            Pada era liberalisasi perdagangan dewasa ini, daya saing antar negara tidak ditentukan hanya oleh melimpahnya sumberdaya alam tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusia negara yang bersangkutan dalam memproduksi barang dan jasa untuk diperdagangkan baik di dalam negeri maupun luar negeri. Menurut Human Development Index (HDI), Indonesia berada pada peringkat 112 dari 170 negara anggota PBB. Angka ini dapat menjadi indikator tentang rendahnya daya saing sumberdaya manusia Indonesia dalam persaingan regional maupun global.
            Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing petani dan pelaku usaha pertanian lainnya perlu lebih ditingkatkan upaya mengembangkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap petani beserta keluarganya dan pelaku usaha pertanian lainnya melalui proses pembelajaran agar mau dan mampu menolong serta mengorganisasikan dirinya, memiliki akses ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya untuk bekerjasama yang saling menguntungkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya.

B. Peranan Penyuluhan Pertanian

            Penyuluhan pertanian di Indonesia berkembang melalui beberapa tahap. Dalam periode sebelum tahun 1960, penyuluhan pertanian dilaksanakan berdasarkan pendekatan “tetesan minyak” melalui petani-petani maju dan kontak tani. Metode yang digunakan terutama melalui kursus tani mingguan bagi petani dewasa, wanita dan pemuda. Selain itu dilaksanakan juga kunjungan keluarga dan propaganda program peningkatan produksi.
            Dalam periode 1975-1990, sistem latihan dan kunjungan (LAKU) mendominasi sistem kerja penyuluh pertanian di Indonesia terutama di daerah-daerah produksi padi. Sistem ini diperkenalkan dan dilaksanakan dengan dukungan Bank Dunia melalui Proyek Penyuluhan Tanaman Pangan (NFCEP) tahun 1975 dan diikuti oleh Proyek Penyuluhan Pertanian Nasional (NAEP I dan NAEP II). Tujuan kedua proyek tersebut pada intinya adalah untuk meningkatkan produksi komoditi pertanian tertentu, dimulai dengan hasil pertanian utama yaitu padi yang masih menerapkan teknologi yang kurang produktivitasnya, dengan jalan mendiseminasikan teknologi usahatani, yang dikenal dengan Panca Usaha dan Sapta Usaha.
            Penyuluh pertanian, yang pada waktu itu dikenal dengan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), dilatih untuk mengajar petani dan menyampaikan rekomendasi-rekomendasi yang telah disusun dalam paket-paket teknologi. Sistem ini merupakan sistem kerja yang berdasarkan manajemen waktu yang ketat dan mengalihkan teknologi dimana petani hanya dianggap sebagai pengguna teknologi yang dihasilkan lembaga-lembaga penelitian.
            Khusus mengenai program BIMAS, keberhasilannya ditentukan oleh beberapa hal sebagai berikut:
1.      Didukung oleh political will yang kuat langsung dari Presiden yang diturunkan sampai ke Kepala Desa. Setiap minggu Provinsi lokasi Bimas Padi harus mengirimkan laporan mengenai perkembangan pelaksanaan Bimas Padi ke Departemen Pertanian dan ke Bina Graha.
2.      Sifatnya sentralistis, pelaksana dan petani peserta Bimas di daerah harus mengerjakan apa yang diinstruksikan oleh Pemerintah yang umumnya sudah dalam bentuk paket, termasuk paket teknologi usahatani (Panca Usaha dan Sapta Usaha).
3.      Petani mendapatkan subsidi.
4.      Delivery system diorganisasikan dalam bentuk Catur Sarana dan receiving mechanism-nya adalah kelompok tani.
5.      Kelembagaan yang mengelola program Bimas seragam.
6.      Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) berfungsi optimal sebagai basis (homebase) penyuluhan pertanian yang dibagi dalam Wilayah Kerja BPP (WKBPP), Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP) dan Wilayah Kelompok (Wilkel).
7.      Anggaran besar, tersedia sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
8.      Didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai.
9.      Didukung oleh penyuluh pertanian yang relatif masih muda sehingga mobilitasnya tinggi dan mempunyai otoritas yang tinggi.
10.    Menggunakan sistem kerja LAKU sebagai sistem kerja para penyuluh pertanian.
            Sistem Bimas dilaksanakan hanya pada beberapa komoditi tertentu yang dikoordinasikan oleh Sekretariat Badan Pengendali Bimas di pusat dan di daerah oleh Satuan Pembina Bimas Provinsi dan Satuan Pelaksana Bimas Kabupaten. Sekretariat Badan Pengendali Bimas di Pusat juga berfungsi sebagai satuan administrasi pangkal para penyuluh pertanian.
            Pada kondisi di atas, para penyuluh pertanian semuanya dikerahkan untuk mensukseskan Program Bimas dalam rangka swasembada beras, sehingga program peningkatan produksi komoditas di luar beras tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Walaupun Departemen Pertanian merekrut tenaga penyuluh pertanian khusus untuk menangani komoditas non beras, yang berstatus dipekerjakan di daerah, ternyata juga tidak memberikan hasil yang optimal karena tidak didukung oleh perangkat-perangkat seperti pada Program Bimas, termasuk penyediaan dananya.
            Dalam perkembangan selanjutnya, Sistem Kerja LAKU pun mengalami kemunduran, petani yang hadir dalam pertemuan dua mingguan di hamparan makin berkurang. Laporan studi Bank Dunia tahun 1995 menggambarkan makin banyak petani yang kurang puas dengan sistem ini. Penyuluh pertanian tidak lagi dianggap sebagai sumber informasi untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi petani dalam usahataninya.
            Pada tahun-tahun berikutnya Pemerintah mengembangkan pendekatan penyuluhan pertanian partisipatif diantaranya model Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu, model yang dikembangkan oleh KUF, Delivery, P4K dan DAFEP.
            Dalam pelaksanaannya, ternyata dari masa ke masa penyelenggaraan penyuluhan pertanian dilakukan tidak berdasarkan sistem dan mekanisme yang baku yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang kuat.

C. Petani dan Kelembagaannya

            Berdasarkan data Sensus Pertanian tahun 2003, jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) meningkat 2,2 % per tahun dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003. Sementara itu, Petani Gurem meningkat 2,6 % per tahun dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta pada tahun 2003. Prosentase RTP Gurem dibanding RTP pengguna lahan naik dari 52,7 % pada tahun 1993 menjadi 56,5 % pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan kemiskinan petani meningkat selama dekade 1993-2003.
            Dengan kondisi petani seperti ini, maka semua program pembangunan pertanian yang diluncurkan oleh Pemerintah, dan teknologi yang dihasilkan oleh lembaga penelitian, serta modal yang disalurkan oleh lembaga keuangan hampir dipastikan tidak akan dapat dimanfaatkan dengan baik oleh petani. Oleh karena itu upaya pemberdayaan petani melalui penyuluhan pertanian harus selalu ditingkatkan. Penyuluhan pertanian merupakan suatu keniscayaan sekaligus merupakan kewajiban Pemerintah untuk menyelenggarakannya. Pemberdayaan melalui penyelenggaraan penyuluhan pertanian diperlukan untuk mengubah pola pikir, sikap dan perilaku guna membangun kehidupan dan penghidupan petani yang lebih baik secara berkelanjutan.
            Pemberdayaan petani dan keluarganya melalui penyelenggaraan penyuluhan pertanian seperti di atas tidak mungkin dilaksanakan dengan pendekatan individu, karena jumlah dan sebaran petani sangat besar dan luas serta terbatasnya sumberdaya penyuluhan. Dengan demikian penyuluhan pertanian harus dilakukan melalui pendekatan kelompok. Pendekatan ini mendorong petani untuk membentuk kelembagaan tani yang kuat agar dapat membangun sinergi antar petani, baik dalam proses belajar, kerjasama maupun sebagai unit usaha yang merupakan bagian dari usahataninya. Sampai saat ini jumlah kelembagaan petani yang tercatat adalah 293.568 kelompok tani, 1.365 asosiasi tani, 10.527 koperasi tani, dan 272 P4S.
            Kelembagaan petani ini belum sepenuhnya berfungsi sebagai unit ekonomi, sehingga kedepan harus diarahkan untuk lebih berorientasi pasar, berbasis pada sumber daya lokal dan kompetensi petani untuk mendapatkan berbagai kemudahan akses terhadap permodalan, teknologi, pemasaran, dan sarana produksi.

D. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian

            Kegiatan penyuluhan pertanian adalah kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian Pemerintah, petani dan swasta.
            Sampai dengan sekarang, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di Provinsi tidak ada, tetapi fungsi penyuluhan pertanian di beberapa Provinsi dilaksanakan oleh Dinas atau Badan lingkup pertanian. Namun demikian penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi, karena mandat untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Sekarang ini 375 dari 435 Kabupaten/Kota (86 %) mempunyai kelembagaan penyuluhan pertanian dalam bentuk Badan/Kantor/Balai/Sub Dinas/Seksi/ UPTD/Kelompok Penyuluh Pertanian. Sedangkan 61 Kabupaten/Kota (14 %) bentuk kelembagaannya tidak jelas. Sementara itu di Kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian yang terdepan yaitu Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), pada saat ini dari 5.187 Kecamatan baru terbentuk 3.557 unit (69 %).
Secara umum masalah yang dihadapi kelembagaan penyuluhan pertanian adalah sebagai berikut:
1.      Fungsi penyuluhan pertanian di Provinsi belum berjalan optimal karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan pertanian tidak tegas.
2.      Beragamnya bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota (7 bentuk) menggambarkan beragamnya persepsi Kabupaten/Kota tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota. Kondisi ini menyebabkan:
a.  Kelembagaan penyuluhan pertanian yang berbentuk Kantor/Balai/Subdin/Seksi/Kelompok Jabfung/UPTD, sulit mengkoordinasikan instansi terkait karena eselonnya lebih rendah dari instansi yang akan dikoordinasikan;
b.  Kelembagaan penyuluhan pertanian yang berbentuk Subdin/Seksi/Kelompok Jabfung/UPTD, fungsi penyuluhan masih bercampur dengan fungsi pengaturan dan pengendalian. Hal ini menyebabkan berkurangnya independensi penyuluh pertanian.
c.  Intervensi Pemerintah untuk mengatur bentuk dan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota tidak memungkinkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.     Belum semua Kecamatan memiliki BPP. Adapun BPP yang ada sekarang ini kurang difungsikan dengan baik oleh Kabupaten/Kota, bahkan di beberapa Kabupaten/Kota dialihfungsikan untuk kegiatan lain.
4.     Kurang difungsikannya BPP mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian kurang terencana dan tidak diprogramkan sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi ini juga menyebabkan kurang atau tidak tersedianya biaya operasional penyuluhan pertanian di Kecamatan/Desa.
5.     Dengan diserahkannya personil, perlengkapan, pembiayaan dan dokumen (P3D) dari Pemerintah ke Provinsi/Kabupaten/Kota, maka kepemilikan aset kelembagaan penyuluhan pertanian beralih ke Provinsi/Kabupaten/Kota. Dalam kenyataannya penggunaan aset ini tidak sesuai dengan keperluan untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian. Akibatnya penyuluh pertanian tidak mendapatkan dukungan sarana penyuluhan pertanian yang memadai sehingga kinerjanya menurun.
6.     Pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota banyak yang tidak mempunyai latar belakang  penyuluhan pertanian. Hal ini menyebabkan pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian sering tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian, karena pimpinan/pengelola kelembagaan penyuluhan pertanian kurang memahami arti dan peran strategis penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian di wilayah kerjanya.
7.     Sistem penyuluhan pertanian yang disepakati bersama belum ada. Hal ini menyebabkan tidak jelasnya hubungan antara kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, sehingga struktur dan mekanisme pembinaan dan tata hubungan kerja juga menjadi tidak jelas.
8.     Kabupaten/Kota belum sepenuhnya menjalankan kewenangan wajib dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menyebabkan masih banyaknya Kabupaten/Kota yang belum menyusun program penyuluhan pertanian, belum melakukan pembinaan terhadap penyuluh pertanian dan minimnya biaya penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota.
9.     Kelembagaan penyuluhan pertanian yang dimiliki dan dioperasionalkan baik oleh petani maupun oleh swasta, belum dimanfaatkan secara optimal oleh Pemerintah sebagai mitra kerja sejajar untuk melayani petani.

E. Ketenagaan Penyuluhan Pertanian

            Keragaan tenaga penyuluh pertanian dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang sangat signifikan. Pada tahun 1999 jumlah penyuluh pertanian tercatat sebanyak 37.636 orang. Setelah otonomi daerah diberlakukan pada tahun 2001, jumlah penyuluh pertanian berkurang menjadi 33.659 orang. Dalam kurun waktu empat tahun kemudian, jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis menjadi 25.708 orang (data Mei 2005) ditambah 1.634 orang penyuluh pertanian honorer. Seluruh penyuluh pertanian ini tersebar secara tidak merata di 3.557 BPP.
Kondisi tenaga penyuluh pertanian pada saat ini adalah sebagai berikut:
1.      Penyebaran dan kompetensi tenaga penyuluh pertanian masih bias kepada sub sektor pangan, khususnya padi. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya pelayanan penyuluhan pertanian kepada petani yang mengusahakan komoditas non pangan.
2.      Banyak alih tugas penyuluh pertanian ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tenaga penyuluh pertanian di Kabupaten/Kota tersebut yang mengakibatkan tidak sebandingnya jumlah tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah petani/ kelompoktani yang harus dilayani. Kondisi ini juga menyebabkan banyak penyuluh pertanian yang frustasi karena ditempatkan pada jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
3.      Pada beberapa Kabupaten/Kota, pengukuhan kembali penyuluh pertanian sebagai pejabat fungsional belum dilakukan sehingga penyuluh pertanian tidak diakui eksistensinya dan tunjangan fungsionalnya banyak yang tidak dibayarkan atau dibayarkan tidak sebesar seperti seharusnya. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya motivasi penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik.
4.      Kenaikan pangkat sering terlambat dan pola karir tidak jelas sehingga kondisi ini juga mengurangi motivasi dan kinerja para penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik dan seringkali menyebabkan frustasi.
5.      Rekruitmen dan pembinaan karier penyuluh pertanian belum sepenuhnya berpedoman pada SK MenkowasbangPAN No.19/1999 dan ketentuan usia pensiun bagi penyuluh pertanian belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku.
6.      Peningkatan kompetensi penyuluh pertanian, terutama melalui Diklat, sudah jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan dan kinerja penyuluh pertanian dalam menjalankan tugasnya dan menurunnya kredibilitas mereka di mata petani.
7.      Penyetaraan penyuluh pertanian dari pendidikan SLTA ke DIII belum terselesaikan. Kondisi ini menyebabkan mereka dapat diberhentikan sebagai pejabat fungsional.
8.      Usia penyuluh pertanian sebagian besar di atas 50 tahun. Kondisi ini menyebabkan 10 tahun yang akan datang jumlah penyuluh pertanian menjadi sangat berkurang karena memasuki usia pensiun.
9.      Penyuluh Pertanian Swakarsa dan Swasta belum berkembang dengan baik, karena pembinaannya belum terprogram dan belum didukung oleh peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menyebabkan belum optimalnya peranserta petani dan swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian.
10.     Biaya operasional untuk penyuluh pertanian yang disediakan oleh Kabupaten/Kota tidak memadai. Hal ini menyebabkan frekuensi dan intensitas kunjungan penyuluh pertanian ke petani sangat kurang.

F. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian

            Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang dilakukan selama ini belum dapat memberdayakan petani dan pelaku usaha pertanian lain karena belum adanya kesatuan persepsi, sehingga dalam penyelenggaraannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian.
            Penyuluhan pertanian diselenggarakan dengan prinsip: (1) terdesentralisasi, (2) partisipatif, (3) keterbukaan, (4) keswadayaan, (5) kemitrasejajaran, (6) akuntabililitas, dan (7) keterpaduan.
            Permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian sebagai berikut:
1.      Penyelenggaraan penyuluhan pertanian belum dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip penyuluhan partisipatif dan belum dilaksanakan secara terpadu sebagai bagian dari suatu sistem pemberdayaan petani. Hal ini menyebabkan kurangnya peranserta petani dan terputusnya jaringan kerjasama antara penyuluhan pertanian dengan kegiatan pemberdayaan petani lainnya (penelitian, penyediaan sarana produksi pertanian, pengolahan hasil dan pemasaran).
2.      Penyusunan programa penyuluhan pertanian tidak sesuai dengan kebutuhan lapangan serta belum didasarkan pada prinsip-prinsip penyusunannya. Kondisi ini menyebabkan programa yang disusun tidak realistis dan belum mencerminkan kebutuhan petani.
3.      Belum mendorong kemitraan dengan petani, swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Keadaan ini menyebabkan keterlibatan dan penumbuhan penyuluh pertanian swakarsa dan swasta, sebagai bagian dari jaringan penyuluhan pertanian, kurang berjalan dengan baik.
4.      Penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih berorientasi keproyekan dan kegiatannya masih bersifat parsial serta belum didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Kondisi ini menyebabkan ketergantungan penyuluhan pertanian pada keberadaan proyek.
5.     Materi dan metode penyuluhan pertanian belum sepenuhnya mendukung pengembangan agribisnis komoditas unggulan di daerah, karena kurangnya dukungan informasi dan keterbatasan sumberdaya. Kondisi ini menyebabkan dinas-dinas lingkup pertanian merasa tidak mendapatkan dukungan kegiatan penyuluhan pertanian.

G. Sumberdaya Penyuluhan Pertanian

            Sumberdaya penyuluhan pertanian sangat diperlukan oleh penyuluh pertanian agar dapat menyelenggarakan penyuluhan pertanian dengan produktif, efektif dan efisien. Sumberdaya penyuluhan pertanian meliputi informasi dan teknologi, sarana dan prasarana serta pembiayaan penyuluhan pertanian.
            Permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya penyuluhan pertanian sebagai berikut
1.      Sulitnya mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokalita karena terbatasnya kemampuan penyuluh pertanian untuk mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang berkembangnya pengetahuan, kemampuan dan wawasan penyuluh pertanian untuk menyediakan materi penyuluhan yang dibutuhkan petani.
2.      Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kondisi ini menyebabkan rendahnya mobilitas penyuluh pertanian dan kurang optimalnya pelayanan terhadap petani.
3.     Pembiayaan penyuluhan pertanian yang bersumber dari Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota baik melalui dana dekonsentrasi, dana alokasi umum (DAU), dan APBD maupun kontribusi dari petani dan swasta masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak optimal, yang pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan program

2 komentar:

  1. Terimakasih,halinijadi bahan dalam rangka menyusun kebijakan baru tentang penyelenggaraan penyuluhan sesuai kebutuhan dan dapat dipertanggungjawabkan

    BalasHapus
  2. Saya tidak bisa cukup berterima kasih kepada layanan pendanaan lemeridian dan membuat orang tahu betapa bersyukurnya saya atas semua bantuan yang telah Anda dan staf tim Anda berikan dan saya berharap untuk merekomendasikan teman dan keluarga jika mereka membutuhkan saran atau bantuan keuangan @ 1,9% Tarif untuk Pinjaman Bisnis. Hubungi Via:. lfdsloans@lemeridianfds.com / lfdsloans@outlook.com. WhatsApp ... + 19893943740. Terus bekerja dengan baik.
    Terima kasih, Busarakham.

    BalasHapus