Selasa, 04 Desember 2012

Bagaimana Pertanian Organik Dilakukan


Bagaimana Pertanian Organik Dilakukan

Ditulis Oleh Marhaenis Budi Santoso   
Thursday, 01 July 2010

Isu tentang semakin memburuknya sumber daya alam pertanian, telah mendasari untuk dikembangkan pertanian organik dalam skala besar. Lockeretz et.al. (1981) mengemukakan bahwa di Amerika sistem pertanian dengan penggunaan pupuk anorganik dan pestisida dan yang selalu tergantung pada bahan bakar minyak telah mulai kewalahan dan merasa bahwa ketergantungan tersebut harus dihentikan. 


Di Indonesia ketergatungan pada pupuk organik telah meningkatkan harga pupuk, yang pada akhirnya membuat petani tidak untung. Walaupun produktivitas dengan penggunaan bahan-bahan kimia meningkat, tetapi menimbulkan kerentanan terhadap hama dan penyakit dan produknya pun tidak laku. Di sisi lain, budidaya pertanian seperti yang terjadi di Indonesia dihadapkan pada kendala terutama menurunnya daya dukung lahan. Daya dukung lahan yang semakin memburuk disebabkan oleh pemanfaatan yang terus-menerus tanpa diimbangi oleh tindakan-tindakan konservasi dan pengembalian kesuburan lahan.
Permasalahan yang dihadapi dalam pertanian konvensional dapat diselesaikan dengan mengembangkan pertanian organik, yang mengikuti konsep bahwa hutan alam yang terdiri dari ribuan jenis tanaman bisa hidup subur tanpa campur tangan manusia. Kondisi alami dapat memberi makanan dan perlindungan dengan iklim mikro yang cocok bagi makhluk hidup seperti cendawan, bakteri, dan serangga besar ataupun kecil. Seresah daun-daun dan kotoran secara perlahan, tapi pasti, dapat terurai sehingga menjadi pupuk bagi tanaman.

Pertanian organik bertujuan untuk menjadi selaras dengan ekosistem alami. Idenya meliputi seluruh aspek usahatani dimulai dari bagaimana mengendalikan hama penyakit, mempertahankan kesuburan tanah baik fisik, kimia maupun biologis serta aspek keterpaduannya dengan lingkungan dan kesehatan (Blake, 1994). Untuk mendorong kesehatan tanah dan tanaman dilakukan melalui suatu praktek pendaurulangan unsur hara dari bahan-bahan organik (seperti kompos dan sampah tanaman), rotasi tanaman, pengolahan yang tepat dan menghindari pupuk sintetis serta pestisida. Dengan demikian, pertanian organik dipandang sebagai suatu cara bertani yang lebih ramah terhadap lingkungan. Ramah terhadap lingkungan merupakan ciri yang tidak ditemukan pada sistem pertanian konvensional yang menekankan pada penggunaan bahan-bahan kimia (pupuk dan pestisida), pola tanam monokultur dan penggunaan alat-alat mekanisasi untuk mencapai hasil yang optimum.
Pertanian organik awalnya hanya dilakukan oleh orang-orang yang hobi di bidang pertanian, dan bahkan dilakukan untuk tujuan komersial. Akan tetapi, sejalan dengan perkembangan pertanian dan berbagai faktor dan dampak yang muncul sebagai akibat praktek pertanian secara konvensional, pertanian organik semakin menarik perhatian para pengembang pertanian.
Perkembangan pertanian organik dalam 30 tahun terakhir ini telah dipengaruhi oleh tiga faktor utama: lingkungan berkenaan dengan pencemaran dan ketidakberlanjutan dari usahatani dengan input yang tinggi; kesehatan manusia berkenaan dengan penggunaan bahan kimia pertanian; dan sosial berkenaan dengan penurunan masyarakat pertanian di perdesaan. Tulisan ini menyajikan bagaimana praktek budidaya organik dilakukan dan bagaimana sifat sistem pertanian organik di lihat dari produktivitas, stabilitas, sustainabilitas dan equitabilitasnya.


TINDAKAN TEKNIS DALAM SISTEM PERTANIAN ORGANIK

Pertanian organik berarti lebih banyak menggunakan input organik, ini merupakan metode yang memerlukan manajemen ekosistem yang efektif untuk dapat berhasil. Ciri-ciri utama dari pertanian organik antara lain adalah:

·         menjaga kesuburan tanah dengan melindungi tingkat bahan organik dalam tanah;
·         mencukupi kebutuhan nitrogen secara mandiri melalui penggunaan tanaman legum untuk mendorong fiksasi nitrogen;
·         melakukan daur ulang bahan organik, khususnya limbah ternak dan limbah pertanian;
·         mengendalikan hama, penyakit, dan gulma dengan menerapkan pergiliran tanaman, musuh alami, pupuk organik, dan penggunaan verietas yang tahan;
·         memperhatikan pengaruh usahatani terhadap lingkungan sekitar dan perlindungan hewan liar dan habitat alami.
Sesuai dengan sifat dasar pertanian organik yang mendorong kesehatan tanah dan tanaman, manajemen pertanian organik selalu melibatkan beberapa tindakan, antara lain,  pengolahan tanah, mempertahankan dan melestarikan habitat tanaman dengan pola tanam tumpang gilir dan tumpang sari, pemanfaatan bahan organik sebagai biofertilizer dan   biopestisida, dengan mengintroduksikan mikroorganisme efektif.

Praktek Pengolahan Tanah dan Pengendalian Gulma
Pengolahan tanah tidak dilakukan seperti pada pertanian konvensional yang sering tidak memperhatikan konsep keseimbangan ekosistem, tetapi mengikuti kaidah konservasi lahan. Tanah diolah secara minimum, misalnya dengan sedikit membalik tanah tidak lebih dari 6-10 cm sehingga tidak secara drastis mempengaruhi lingkungan dan kehidupan tanah. Aktivitas mekanis untuk melakukan pembajakan dengan tingkat kedalaman yang sama terus-menerus dihindari. Pengolahan tanah dilakukan dengan pendekatan pemanfaatan potensi gulma yang tumbuh dipermukaan lahan untuk meningkatkan ketersediaan bahan organik dan hara.
Rotasi Tanaman
Pada sistem pertanian organik selalu menghindari monokultur. Penanaman dengan jenis tanaman yang berbeda dari musim ke musim dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Pada hakekatnya rotasi tanaman dimaksudkan agar lahan tidak tereksploitasi oleh satu jenis tanaman dalam pengambilan unsur haranya. Pemanfaatan tanah leguminose, misalnya kacang-kacangan, mempunyai bintil akar yang dapat menambat Nitrogen dari udara dan kemudian mengubahnya menjadi nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman.
Berbagai penelitian menyebutkan bahwa rotasi tanaman sangat penting dalam mempertahankan keawetan tanah. Dilaporkan Lockeretz et.al (1981) bahwa dalam rotasi tanaman pada sistem pertanian organik di lima negara bagian Amerika Serikat dapat menurunkan 1/3 lebih rendah jika dibandingkan dengan pertanian konvensional. Di Guthrin, Oklahoma, rotasi tanaman kapas-gandum-tanaman penutup tanah, selama  6 tahun dapat menurunkan kehilangan tanah 77,27 % dari penanaman kapas terus menerus. Di tempat lain penanaman jagung terus-menerus menyebabkan terjadinya kehilangan tanah sebanyak   89 ton/are/tahun. Dengan rotasi jagung-gandum-tanaman penutup selama 3 tahun dapat menurunkan kehilangan tanah hingga 25 ton/are/tahun (Benneth, 1955 dalam Kartasapoetra, 1989).
Di samping menjaga tanah tetap tertutup sehingga kehilangan tanah dan air dalam tanah dapat dikurangi, rotasi tanaman juga merupakan cara vegetatif untuk mengendalikan gulma, memperkaya dan membantu memperbaiki tanah (Blake, 1994); mengendalikan hama dan penyakit tanaman (Kartasapoetra ,1989) melalui pemutusan siklus hidupnya. Suatu praktek pertanian di Virginia dilaporkan bahwa rotasi tanam berguna untuk mengendalikan beberapa serangga hama secara kultur teknis, termasuk cacing akar. Cacing akar tanaman jagung yang dewasa (Diabrotica virgifera) bertelur diladang jagung pada akir musim panas. Telur-telur ini melewati musim dingin dan menetas pada musim semi berikutnya. Jika jagung ditanam, larva cacing akar akan makan dan berkembang pada akar jagung. Karena larva hanya makan pada jagung dan yang dewasa hanya bertelur di ladang jagung, maka rotasi tanaman jagung dengan tanaman lain merupakan cara pengendalian yang efektif terhadap cacing akar. (Luna, JM. dan G.J.Hause,  1990)
Penggunaan Bahan Organik (pupuk kandang, kompos, limbah ternak dan pertanian)
Pemanfaatan pupuk kandang, kompos dan limbah pertanian merupakan komponen yang terpenting dalam pertanian organik untuk memperbaiki kesuburan tanah baik secara fisik, kimia maupun biologis. Pemanfaatan bahan-bahan organik tersebut pada hakekatnya merupakan upaya agar proses transformasi input-output dapat berjalan seimbang. Tanah memberikan makanan dan air bagi pertumbuhan tanaman. Tanaman menjadi makanan bagi ternak. Limbah ternak dan tanaman bersama-sama merupakan bahan organik yang dikembalikan ke tanah. Bahan-bahan organik tersebut oleh mikroorganisme terdekomposisi menghasilkan unsur hara yang penting bagi tanaman.
Suatu penelitian yang membandingkan sistem pertanian organik yang memanfaatkan bahan organik dan penerapan rotasi tanaman dengan pertanian konvensional, mendapatkan hasil pengukuran sifat tanah seperti tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan sifat tanah pada sistem pertanian organik dengan pertanian konvensional.

Sifat tanah
Organik
Konvensional
Perbedaan
C organik ( % )
Total N (% )
Rasio C/N
P tersedia
     P1 ( mg/kg )
     P2 ( mg/kg )
K dapat ditukar ( mg/kg )
KTK ( mcg/100 g )
PH
2,35
0,233
10,25

25,2
69,8
137,0
27,8
6,50
2,21
0,221
10,28

33,8
69,7
148,2
27,2
6,38
0,14
0,012
- 0,03

- 8,6
0,1
- 11,2
0,6
0,12
             Sumber : Lockeretz et.al. (1980)

Di samping menambah unsur hara dalam tanah, bahan organik dapat menjaga sifat fisik tanah seperti meningkatkan jumlah dan stabilitas agregat, memelihara struktur tanah lapisan atas, meningkatkan daya infiltrasi tanah dan mengurangi aliran permukaan serta erosi,  meningkatkan permeabilitas air dan udara, daya simpan air dan konsistensi tanah (Kubata, 1971 dan Maeda, 1974 dalam Anonimus 1984); dan meningkatkan retensi air tanah (Pujianto, 1992)
Penggunaan bahan organik dilaporkan juga dapat meningkatkan jumlah maupun aktivitas organisme di dalam tanah (Pujianto, 1992; Adianto, 1993). Peningkatan aktivitas organisme terutama dalam peranannya sebagai dekomposer adalah mempercepat penguraian materi nabati menjadi bahan organik. Sementara Lockeretz (1981) melaporkan bahwa pada sistem pertanian organik jumlah kumbang tanah dapat berkembang baik. Beberapa kumbang tanah diketahui sebagai predator, dan 85% dari specimen yang dikoleksi adalah spesies yang dapat berfungsi sebagai agen pengontrol hayati. Penelitian lain dalam penggunaan bahan organik dalam bentuk kompos didapat bahwa ternyata kompos dapat meniadakan patogen yang ditularkan melalui tanah, karena sifat antagonis antara mikroorganisme patogen dengan mikroorganisme yang terkandung dalam bahan organik (Wididana, 1996).

Pestisida Hayati
Penggunaan bahan kimia (pestisida) merupakan tindakan pada sistem pertanian konvensional yang berdampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan sangat besar. Dengan pertanian organik, kegiatan penggunaan pestisida tersebut dapat diatasi. Pengendalian hama dan penyakit dapat diganti dengan pestisida organik yaitu nimba, tembakau, brotowali, gadung, mengkudu, mahoni, pepaya, johar, sirsak, dan srikaya (Pracaya, 2002). Beberapa kelebihan penggunaan pestisida organik ini adalah, antara lain,  mudah membuatnya, tidak meracuni udara, tidak berbahaya, tidak meracuni konsumen karena cepat terurai, dan bahan tanamannya mudah di peroleh.
Pemanfaatan Teknologi “Effective Microorganisme”
Teknologi EM4 merupakan dimensi tambahan untuk mengoptimumkan praktek pertanian organik, seperti pada rotasi tanaman, penambahan bahan organik, pengolahan tanah konservasi dan pengendalian biologi. Effective Microorganisme (EM4) adalah suatu larutan hasil pembiakan campuran dari sebagian besar mikroorganisme Lactobacilus sp. , Streptomyces sp. serta ragi. Menurut Wididana et.al. (1996) ada beberapa keuntungan yang diperoleh dengan teknologi EM4 dalam sistem  pertanian organik.
EM4 dapat membantu mempercepat dekomposisi limbah dan sampah organik dan meningkatkan kualitas limbah organik tidak bau. Oleh karena itu dalam prakteknya EM4 dipakai untuk membuat kompos yang dikenal dengan bokashi. Dengan teknologi EM4, berbagai bahan organik misalnya jerami padi, pupuk kandang, dedak (padi), sekam padi dapat dibuat menjadi kompos. Bahan organik yang difermentasi dengan EM4 akan menghasilkan gula alkohol, asam laktat, asam amino dan senyawa organik lainnya yang dapat diserap langsung oleh perakaran tanaman melalui proses osmose.
EM4 dapat menekan pertumbuhan serangga hama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa EM4 dapat memfermentasi bahan organik yang terdapat di dalam tanah dengan melepaskan hasil fermentasi berupa gula, alkohal vitamin, asam laktat, asam amino dan senyawa organik lainnya. Fermentasi bahan organik tidak melepaskan panas dan gas yang berbau busuk sehingga serangga hama tidak tertarik untuk bertelur atau menetaskan telurnya di dalam kondisi tanah tersebut. Akhirnya, siklus hidup serangga di dalam tanah dan tanaman menjadi terputus dan tingkat serangan hama menjadi menurun.
EM4 dapat menekan pertumbuhan nematoda parasit tanaman. Hal ini terjadi karena hasil fermentasi bahan organik ternak menciptakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan jamur pemangsa nematoda yang dapat menurunkan populasi nematoda parasit di dalam tanah.
  

SIKLUS EKOLOGI – EKOSISTEM PERTANIAN
Siklus daur ulang yang diharapkan terjadi dalam ekosistem seperti yang tertera pada Gambar 1 berikut.

Image                 
                                                                                                         
 Interaksi yang terjadi di antara  komponen-komponen sistem terutama dalam transformasi input-output diharapkan dapat berkembang. Dalam ekosistem pertanian organik, tanaman budi daya (sebagai vegetasi utama) dan gulma merupakan komponen biotik. Komponen biotik lainnya adalah serangga hama, predator, serangga penular dan mikroorganisme. Semuanya merupakan komunitas organisme hidup yang berpengaruh terhadap pertanaman.
Komponen fisik adalah tanah dengan air dan unsur hara yang dikandungnya. Bersama dengan komponen fisik yang lain seperti iklim dan cuaca, komponen-komponen fisik tanah berinteraksi dengan komponen biotik. Dengan sedikit campur tangan manusia yang memberikan input hayati, komponen-komponen tersebut terus berkembang dan berinteraksi secara sinergis.

                                                                                                             
KARAKTERISTIK AGROEKOSISTEM - SISTEM PERTANIAN ORGANIK
       
Praktek pertanian yang menekankan pada pendaurulangan unsur hara dari bahan-bahan organik, rotasi tanaman, pengolahan yang tepat dan menghindari pupuk buatan dan pestisida akan menghasilkan ekosistem pertanian yang memiliki karakteristik sistem yang berbeda jika dibandingkan dengan karakteristik sistem pertanian konvensional
Karakteristik sistem dapat dilihat dari Produktivitas, Stabilitas, Sustainabilitas, dan Equitabilitas.

Produktivitas 
Indikator produktivitas adalah banyaknya total biomasa yang dihasilkan persatuan luas persatuan waktu, yang dinyatakan dalam satuan kg/ha. Produktivitas suatu sistem pertanian umumnya berkaitan dengan prafitabilitas, yaitu yang menggambarkan rasio O/I.
Produktivitas sistem pertanian organik pada umumnya tidak lebih tinggi dari pada pertanian konvensional. Suatu penelitian yang membandingkan antara pertanian organik dengan pertanian konvensional di Corn Belt, Amerika Serikat menunjukkan bahwa hasil tanaman jagung per hektar pada pertanian organik      8% lebih rendah. Demikian pula pada tanaman kedele, pertanian organik 5% lebih rendah meskipun tidak nyata. Perbedaan yang nyata terdapat pada hasil gandum yaitu 43% lebih rendah (Lockeretz et.al, 1981).
Suatu penelitian yang sedikit menambahkan Rock phospat pada sistem pertanian organik, menunjukkan Marketable yield dry bean dan tomat lebih tinggi jika dibandingkan dengan pada manajemen sistem pertanian konvensional, sedangkan jika dibandingkan dengan pada wortel tidak berbeda nyata (Eggert F.P dan C.L.Kahsmann, 1981).

Tabel 2. Keragaan ekonomi pertanian organik VS pertanian konvensional

Tahun
Nilai Produksi
Biaya Operasional
Hasil Bersih
Organik
Konvensional
Organik
Konvensional
Organik
Konvensional
1974
393
426
69
113
324
314
1975
417
478
84
133
333
346
1976
427
482
91
150
336
333
1977
384
407
95
129
289
278
1978
440
527
107
129
333
384


Dari hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa produktivitas sistem pertanian organik dapat lebih tinggi dengan penambahan pupuk buatan dalam jumlah terbatas.
Dalam sistem pertanian organik input-input luar ekosistem pertanian lebih sedikit, karena ekosistem tersebut telah dapat mencukupi sebagian kebutuhan energi. Energi luar seperti pupuk buatan, pestisida, bahan bakar fosil dapat ditekan atau ditiadakan sama sekali. Kemampuan ekosistem menyediakan energi sendiri memungkinkan profitabilitas sistem lebih tinggi.                  
  
Stabilitas
Stabilitas sistem dalam menghasilkan biomasa dipengaruhi oleh faktor fisik maupun faktor biotik seperti ketersediaan air, iklim mikro, aktivitas organisme pengurai, organisme pathogen. Oleh karena itu stabilitas sistem ditentukan oleh banyak sedikitnya tindakan yang dapat memperkecil pengaruh buruk adanya perubahan fisik dan biotik tersebut.
Pada sistem pertanian organik penggunaan bahan organik dan pengolahan yang sesuai dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Adanya keseimbangan pori-pori mikro dan makro serta meningkatnya kemampuan menahan air dalam jumlah banyak memungkinkan tanah tetap kondusif untuk pertumbuhan tanaman di musim kemarau pada saat curah hujan terbatas.
Penggunaan bahan organik dapat menekan timbulnya organisme pengganggu tanaman seperti serangga hama, pathogen tanah. Demikian juga penerapan rotasi tanaman dapat menekan timbulnya organisme pengganggu tanaman (gulma, hama serangga, penyakit). Dengan demikian, adanya musim yang tidak menguntungkan dan ancaman organisme pengganggu tidak mempengaruhi produktivitas. Stabilitas sistem juga ditingkatkan dengan adanya berbagai jenis tanaman dalam pola tumpang sari dan tumpang gilir, yang apabila salah satu mengalami kegagalan maka yang lain diharapkan masih dapat memberikan hasil.
Dengan keterangan tersebut mengisyaratkan bahwa pertanian organik dapat mempertahankan produktivitasnya tetap stabil dengan cara meningkatkan ketahanannya terhadap berbagai perubahan faktor fisik dan abiotik yang tidak menguntungkan.

Sustainabilitas
Ekosistem pertanian dapat mengalami stress atau shock karena adanya gangguan yang hebat dari faktor lingkungan. Adanya gangguan terhadap ekosistem tersebut menyebabkan komponen-komponen biotik maupun abiotik tidak dapat melangsungkan pendauran bahan dan energi dalam proses transformasi input-output.
Untuk mengukur tingkat sustainabilitas ekosistem dapat dilihat dari  adanya tindakan yang bersifat konservasi terhadap faktor abiotik dan biotik,  adanya kecenderungan kearah negatif dari sumber-sumber daya pertanian,   rasio internal input dan eksternal input dan berat ringannya pestisida. Derajat sustainabilitas ekosistem dapat dicapai jika tindakan konservasi dan internal input tinggi dan penggunaan pestisida serta kecenderungan kearah negatif rendah.
Dalam sistem pertanian organik terbukti bahwa tindakan penggunaan bahan organik, pengolahan tanah yang tepat dan rotasi tanaman dapat melindungi tanah dari kerusakan. Tanah dapat terpelihara kesuburannya baik fisik, kimia maupun biologis.
Bahan kimia digunakan dalam jumlah terbatas atau tidak digunakan sama sekali sehingga dapat terhindar dari pencemaran tanah dan air serta musnahnya mikroorganisme yang berguna dalam menciptakan keseimbangan ekosistem. Dalam sistem pertanian organik lebih banyak memanfaatkan sumber daya alami seperti bahan-bahan organik untuk mempertahankan kesuburan tanah dan tanaman, dan memanfaatkan pestisida organik untuk pengendalian hama dan penyakit. Tindakan ini akan meningkatkan internal input dan mengurangi eksternal input.

Equitabilitas
Manajemen sistem pertanian organik lebih menjamin equitabilitas yang tinggi jika dibandingkan dengan pertanian konvensional. Equitabilitas yang tinggi terjadi karena pada pertanian organik lebih mengandalkan input dari dalam sistem seperti pupuk organik dan pestisida organik. Bagi penghuni sistem, menyediakan input dari dalam lebih mudah dan setiap individu dapat mempraktekkan teknologi yang diterapkan dalam manajemen pertanian organik. Penggunaan mesin pertanian yang terbatas juga memungkinkan setiap individu dapat ikut terlibat dalam sistem pertanian organik


KESIMPULAN
Sistem pertanian organik menekankan pada penggunaan bahan organik untuk meningkatkan kesuburan tanah dan tanaman, dengan menghindari penggunaan bahan kimia. Dengan cara itu sistem pertanian organik, walaupun produktivitasnya tidak setinggi sistem pertanian konvensional, tetapi dapat menjamin stabilitas, sustainabilitas dan equitabilitas  yang lebih tinggi sehingga lebih menjamin rasa aman bagi penghuni sistem untuk jangka panjang.



DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1984. Organic matter and rice. Philiphines: IRRI Los Banos Laguna.

Adianto. 1993. Biologi Pertanian. Bandung: Alumni.

Blake F. 1994. Organic Farming and Growing. Marlborough

Eggert FP and Kahrmann CL. 1981. Response of three vegetable crops to organic and inorganic nutrient sources. Proceeding of A Symposium on Organic Farming. ASA Special Publication.

Kartasapoetra AG. 1989. Kerusakan Tanah Pertanian Dan Usaha untuk Rehabilitasinya. Jakarta: Bina Aksara.

Lockeretz WG, Shearer G, Daniel HK, and Robert WK. 1981. Comparison of organic farming in the corn belt. Proceeding of A Symposium on Organic Farming. ASA Special Publication.

Luna JM and Garfield JH. 1990. Pest management in sustainable agricultural system. p. 157-173. In Clive A. Edward et.al., (Ed). Sustainable Agricultural System. Florida: St. Lucie Press Dekay Beach.

Pracaya. 2002. Bertanam Sayuran Organik. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pujiyanto. 1992. Dasar-dasar penetapan mutu pupuk kandang. Jember: Puslitbun.

Reijntjes  C, Haverkort B, dan Waters-Bayer. 1992. Pertanian Masa Depan. Yogyakarta: ILEIA & Kanisius.

Suwardjo dan Sinukatan. 1986. Masalah erosi dan kesuburan tanah lahan kering PMK Indonesia. Makalah pada Lokakarya Usahatani Konservasi di lahan PMK

Widhidana GN, Surandi KR, Teruo Higa, 1996. Teknologi Effective Microorganisme. (Tanya-jawab). Penerbit Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan
Ciri – Ciri Pertanian Organik
Dari uraian diatas, maka bisa kita simpulkan berbagai hal yang merupakan ciri –
ciri dari pertanian organik.Antara lain :
1.menyuarakan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi berkesinambungan
2.aspek alamiah dan kondisi lingkungan sekitar merupakan sumber penunjang
produksi yang utama
3.mengurangi penggunaan bahan penunjang dari luar
4. rotasi tanaman
5.system budidaya secara tumpang sari atau polikultur
6.pengendalian OPT secara biologis
7.varietas tanaman yang resisten
8. pengendalian erosi
9. pengelolaan air
10. daur ulang nutrisi atau unsur hara dari dalam tanah.




sistem pertanian berkelanjutan ini mempunyai ciri-ciri atau sifat sebagai berikut:

1. Secara ekonomi menguntungkan dan dapat dipertanggung jawabkan (economically viable). Petani mampu menghasilkan keuntungan dalam tingkat produksi yang cukup dan stabil, pada tingkat resiko yang bisa ditolerir/diterima.

2. Berwawasan ekologis (ecologically sound). Kualitas agroekosistem dipelihara atau ditingkatkan, dengan menjaga keseimbangan ekologi serta konservasi keanekaragaman hayati. Sistem pertanian yang berwawasan ekologi adalah sistem yang sehat dan mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap tekanan dan gangguan (stress dan shock).

3. Berkeadilan sosial. Sistem pertanian yang menjamin terjadinya keadilan dalam akses dan kontrol terhadap lahan, modal, informasi, dan pasar, bagi yang terlibat tanpa membedakan status sosial-ekonomi, gender, agama atau kelompok etnis.

4. Manusiawi dan menghargai budaya lokal. Menghormati eksistensi dan memperlakukan dengan bijak semua jenis mahluk yang ada. Dalam pengembangan pertanian tidak melepaskan diri dari konteks budaya lokal dan menghargai tatanan nilai, spirit dan pengetahuan lokal

5. Mampu berdaptasi (adaptable). Mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi yang selalu berubah, seperti pertumbuhan populasi, tantangan kebijaksanaan yang baru dan perubahan konstalasi pasar.
STRATEGI PENGEMBANGANNYA
a. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/ propinsi. Penyusunan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif. Disusun dalam jangka panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan dan stimultans. Dalam progran jangka pendek setidaknya terdapat out line plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana pembiayaan.

b. Penetapan Lokasi Agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan Kabupaten oleh Pemerintah Propinsi, untuk selanjutnya oleh Pemerintah Kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu melakukan Identifikasi Potensi dan Masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan), antara lain: Potensi SDA, SDM, Kelembagaan, Iklim Usaha, kondisi PSD, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten.

c. Sosialisasi Program Agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di Pusat maupun di Daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi.


3. KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988), “pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam”.Ciri-ciri pertanian berkelanjutan:
• Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal digunakan secara ramah dan yang dapat diperbaharui.
• Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dan dapat melestarikan sumberdaya alam dan meminimalisasikan risiko.
• Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan disistribusikan sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai, dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan, di lapangan dan di masyarakat.
• Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia, tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat.
• Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan ubahan kondisi usahatni yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan, permintaan pasar, dll. 
Anggap saja sistem pertanian berkelanjutan dipandang sebagai suatu paradigma ilmu. Sistem pertanian berkelanjutan sebagai paradigma ilmu membuat khalayak yang mempercayainya hendaknya (a) mengetahui apa yang harus dipelajarinya, (b) apa saja pernyataan-pernyataan yang harus diungkapkan, dan (c) kaidah-kaidah apa saja yang harus dipakai dalam menafsirkan semua jawaban atas fenomena pertanian berkelanjutan.

Dalam perspektif falsafah ilmu berikutnya, suatu paradigma ilmu pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana, apa dan untuk apa. 
Tiga pertanyaan di atas dirumuskan menjadi beberapa dimensi yaitu:
a. Dimensi ontologis yaitu apa sebenarnya hakikat dari sesuatu kejadian alam dan sosial ekonomi masyarakat yang dapat diketahuinya atau apa hakikat dari setiap kejadian di sektor pertanian dan sistem pertanian berkelanjutan pertanian selama ini ditinjau sebagai ilmu; mengapa terjadi kerusakan lingkungan; bagaimana hubungan degradasi tersebut dengan sistem nilai masyarakat dan sistem nilai suatu kebijakan pembangunan; bagaimana sektor pertanian di Indonesia dinilai terpinggirkan ketimbang kebijakan industri manufaktur, sehingga terjadi transformasi struktural semu; dsb,

b. Dimensi epistemologis yaitu apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu khususnya di bidang pertanian dengan fenomena obyek yang ditemukannya; bagaimana prosedurnya; hal-hal apa yang seharusnya diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem pertanian berkelanjutan yang benar; apa kriteria benar itu; tehnik dan sarana apa untuk mendapatkan pengetahuan sistem pertanian berkelanjutan sebagai suatu ilmu,
c. Dimensi axiologis yaitu seberapa jauh peran sistem nilai dalam suatu penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan; untuk apa mengetahui sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana menentukan obyek dan tehnik prosedural suatu telaahan sistem pertanian berkelanjutan dengan mempertimbangkan kaidah moral atau profesional;

d. Dimensi retorik yaitu apa bahasa yang digunakan dalam penelitian sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana dengan bahasa yang dipakai sebagai alat berpikir dan sekaligus menjadi alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan jalan pikirannya kepada orang lain; bahasa yang dipakai seharusnya sebagai sarana ilmiah dan tentunya obyektif namun menafikan kecenderungan sifat emotif dan afektif;

e. Dimensi metodologis yaitu bagaimana cara atau metodologi yang dipakai dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan sistem pertanian kaitannya dengan fenomena pertanian berkelanjutan; apakah deduktif atau induktif; monodisiplin, multidisiplin dan interdisiplin; kuantitatif atau kualitatif atau kombinasi keduanya; penelitian dasar atau terapan.Berkaitan pula dengan sistem pertanian berkelanjutan, khususnya bagi yang berminat dalam kegiatan penelitian, diperlukan penerapan metodologi program penelitian.
Meminjam pendapat Imre Lakatos dalam Mohammad Muslih (2005), ada tiga elemen yang harus diketahui dalam program penelitian.

Pertama adalah inti pokok yaitu asumsi-asumsi dasar yang menjadi ciri dari penelitian berbagai aspek yang terkait dengan sistem pertanian berkelanjutan.Kedudukannya sebagai dasar di atas elemen lain yang dicerminkan sebagai hipotesis umum dan kerangka teoretis yang bersifat umum. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah seperti mengapa dan bagaimana timbulnya masalah degradasi lingkungan dan degradasi sosial ekonomi pertanian serta bagaimana peran masyarakat dalam kerusakan lingkungan fisik dan sosial-ekonomi (eksternalitas negatif) yang kemudian dijawab sementara dalam bentuk hipotesis berdasarkan teori dan empirik.
Kedua adalah sebagai lingkaran pelindung yang terdiri dari beberapa hipotesis awal atas terjadinya fenomena di sektor pertanian. Kedudukannya sebagai pelengkap inti pokok agar penelitian tentang pertanian mampu menerangkan dan meramalkan setiap fenomena pertanian berkelanjutan yang nyata. Disini sudah dimunculkan perlakuan bagaimana mengembangkan beragam varian yang kompleks dari suatu sistem pertanian, bagaimana memodifikasinya. Namun teori yang dipakai sebagai suatu struktur yang koheren dapat tetap terbuka untuk dikembangkan. Artinya penelitian sistem pertanian berkelanjutan tidak selalu berlangsung sekali jadi tetapi terbuka untuk penelitian lanjutan.
Ketiga adalah serangkaian teori yaitu keterkaitan antara teori yang satu dengan teori lainnya. Penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan seharusnya dinilai dari serangkaian teori. Karena ciri fenomena pertanian berkelanjutan yang begitu kompleksnya maka dalam penelitian ini sudah dapat diduga teori yang digunakan meliputi antara lain teori ekonomimakro, ekonomimikro, teori ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, teori ekonomi produksi, teori perilaku konsumen, teori kebijakan lingkungan, kebijakan pertanian, teori ekonomi ketenagakerjaan, sosiologi, antropologi, ekologi manusia, kelembagaan dsb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar