Bagaimana
Pertanian Organik Dilakukan
|
Ciri
– Ciri Pertanian Organik
Dari
uraian diatas, maka bisa kita simpulkan berbagai hal yang merupakan ciri –
ciri
dari pertanian organik.Antara lain :
1.menyuarakan
aspek lingkungan, sosial dan ekonomi berkesinambungan
2.aspek
alamiah dan kondisi lingkungan sekitar merupakan sumber penunjang
produksi
yang utama
3.mengurangi
penggunaan bahan penunjang dari luar
4.
rotasi tanaman
5.system
budidaya secara tumpang sari atau polikultur
6.pengendalian OPT secara biologis
7.varietas tanaman yang resisten
6.pengendalian OPT secara biologis
7.varietas tanaman yang resisten
8.
pengendalian erosi
9.
pengelolaan air
10.
daur ulang nutrisi atau unsur hara dari dalam tanah.
sistem pertanian berkelanjutan ini
mempunyai ciri-ciri atau sifat sebagai berikut:
1. Secara ekonomi menguntungkan dan
dapat dipertanggung jawabkan (economically viable). Petani mampu menghasilkan
keuntungan dalam tingkat produksi yang cukup dan stabil, pada tingkat resiko
yang bisa ditolerir/diterima.
2. Berwawasan ekologis (ecologically
sound). Kualitas agroekosistem dipelihara atau ditingkatkan, dengan menjaga
keseimbangan ekologi serta konservasi keanekaragaman hayati. Sistem pertanian
yang berwawasan ekologi adalah sistem yang sehat dan mempunyai ketahanan yang
tinggi terhadap tekanan dan gangguan (stress dan shock).
3. Berkeadilan sosial. Sistem
pertanian yang menjamin terjadinya keadilan dalam akses dan kontrol terhadap
lahan, modal, informasi, dan pasar, bagi yang terlibat tanpa membedakan status
sosial-ekonomi, gender, agama atau kelompok etnis.
4. Manusiawi dan menghargai budaya
lokal. Menghormati eksistensi dan memperlakukan dengan bijak semua jenis mahluk
yang ada. Dalam pengembangan pertanian tidak melepaskan diri dari konteks
budaya lokal dan menghargai tatanan nilai, spirit dan pengetahuan lokal
5. Mampu berdaptasi (adaptable). Mampu
menyesuaikan diri terhadap kondisi yang selalu berubah, seperti pertumbuhan
populasi, tantangan kebijaksanaan yang baru dan perubahan konstalasi pasar.
STRATEGI PENGEMBANGANNYA
a. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/ propinsi. Penyusunan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif. Disusun dalam jangka panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan dan stimultans. Dalam progran jangka pendek setidaknya terdapat out line plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana pembiayaan.
b. Penetapan Lokasi Agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan Kabupaten oleh Pemerintah Propinsi, untuk selanjutnya oleh Pemerintah Kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu melakukan Identifikasi Potensi dan Masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan), antara lain: Potensi SDA, SDM, Kelembagaan, Iklim Usaha, kondisi PSD, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten.
c. Sosialisasi Program Agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di Pusat maupun di Daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi.
3. KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988), “pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam”.Ciri-ciri pertanian berkelanjutan:
• Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal digunakan secara ramah dan yang dapat diperbaharui.
• Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dan dapat melestarikan sumberdaya alam dan meminimalisasikan risiko.
• Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan disistribusikan sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai, dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan, di lapangan dan di masyarakat.
• Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia, tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat.
• Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan ubahan kondisi usahatni yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan, permintaan pasar, dll.
Anggap saja sistem pertanian berkelanjutan dipandang sebagai suatu paradigma ilmu. Sistem pertanian berkelanjutan sebagai paradigma ilmu membuat khalayak yang mempercayainya hendaknya (a) mengetahui apa yang harus dipelajarinya, (b) apa saja pernyataan-pernyataan yang harus diungkapkan, dan (c) kaidah-kaidah apa saja yang harus dipakai dalam menafsirkan semua jawaban atas fenomena pertanian berkelanjutan.
Dalam perspektif falsafah ilmu berikutnya, suatu paradigma ilmu pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana, apa dan untuk apa.
Tiga pertanyaan di atas dirumuskan menjadi beberapa dimensi yaitu:
a. Dimensi ontologis yaitu apa sebenarnya hakikat dari sesuatu kejadian alam dan sosial ekonomi masyarakat yang dapat diketahuinya atau apa hakikat dari setiap kejadian di sektor pertanian dan sistem pertanian berkelanjutan pertanian selama ini ditinjau sebagai ilmu; mengapa terjadi kerusakan lingkungan; bagaimana hubungan degradasi tersebut dengan sistem nilai masyarakat dan sistem nilai suatu kebijakan pembangunan; bagaimana sektor pertanian di Indonesia dinilai terpinggirkan ketimbang kebijakan industri manufaktur, sehingga terjadi transformasi struktural semu; dsb,
b. Dimensi epistemologis yaitu apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu khususnya di bidang pertanian dengan fenomena obyek yang ditemukannya; bagaimana prosedurnya; hal-hal apa yang seharusnya diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem pertanian berkelanjutan yang benar; apa kriteria benar itu; tehnik dan sarana apa untuk mendapatkan pengetahuan sistem pertanian berkelanjutan sebagai suatu ilmu,
c. Dimensi axiologis yaitu seberapa jauh peran sistem nilai dalam suatu penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan; untuk apa mengetahui sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana menentukan obyek dan tehnik prosedural suatu telaahan sistem pertanian berkelanjutan dengan mempertimbangkan kaidah moral atau profesional;
d. Dimensi retorik yaitu apa bahasa yang digunakan dalam penelitian sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana dengan bahasa yang dipakai sebagai alat berpikir dan sekaligus menjadi alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan jalan pikirannya kepada orang lain; bahasa yang dipakai seharusnya sebagai sarana ilmiah dan tentunya obyektif namun menafikan kecenderungan sifat emotif dan afektif;
e. Dimensi metodologis yaitu bagaimana cara atau metodologi yang dipakai dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan sistem pertanian kaitannya dengan fenomena pertanian berkelanjutan; apakah deduktif atau induktif; monodisiplin, multidisiplin dan interdisiplin; kuantitatif atau kualitatif atau kombinasi keduanya; penelitian dasar atau terapan.Berkaitan pula dengan sistem pertanian berkelanjutan, khususnya bagi yang berminat dalam kegiatan penelitian, diperlukan penerapan metodologi program penelitian.
Meminjam pendapat Imre Lakatos dalam Mohammad Muslih (2005), ada tiga elemen yang harus diketahui dalam program penelitian.
Pertama adalah inti pokok yaitu asumsi-asumsi dasar yang menjadi ciri dari penelitian berbagai aspek yang terkait dengan sistem pertanian berkelanjutan.Kedudukannya sebagai dasar di atas elemen lain yang dicerminkan sebagai hipotesis umum dan kerangka teoretis yang bersifat umum. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah seperti mengapa dan bagaimana timbulnya masalah degradasi lingkungan dan degradasi sosial ekonomi pertanian serta bagaimana peran masyarakat dalam kerusakan lingkungan fisik dan sosial-ekonomi (eksternalitas negatif) yang kemudian dijawab sementara dalam bentuk hipotesis berdasarkan teori dan empirik.
Kedua adalah sebagai lingkaran pelindung yang terdiri dari beberapa hipotesis awal atas terjadinya fenomena di sektor pertanian. Kedudukannya sebagai pelengkap inti pokok agar penelitian tentang pertanian mampu menerangkan dan meramalkan setiap fenomena pertanian berkelanjutan yang nyata. Disini sudah dimunculkan perlakuan bagaimana mengembangkan beragam varian yang kompleks dari suatu sistem pertanian, bagaimana memodifikasinya. Namun teori yang dipakai sebagai suatu struktur yang koheren dapat tetap terbuka untuk dikembangkan. Artinya penelitian sistem pertanian berkelanjutan tidak selalu berlangsung sekali jadi tetapi terbuka untuk penelitian lanjutan.
Ketiga adalah serangkaian teori yaitu keterkaitan antara teori yang satu dengan teori lainnya. Penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan seharusnya dinilai dari serangkaian teori. Karena ciri fenomena pertanian berkelanjutan yang begitu kompleksnya maka dalam penelitian ini sudah dapat diduga teori yang digunakan meliputi antara lain teori ekonomimakro, ekonomimikro, teori ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, teori ekonomi produksi, teori perilaku konsumen, teori kebijakan lingkungan, kebijakan pertanian, teori ekonomi ketenagakerjaan, sosiologi, antropologi, ekologi manusia, kelembagaan dsb.
a. Penyusunan master plan pengembangan kawasan agropolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/ propinsi. Penyusunan dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif. Disusun dalam jangka panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan dan stimultans. Dalam progran jangka pendek setidaknya terdapat out line plan, metriks kegiatan lintas sektor, penanggung jawab kegiatan dan rencana pembiayaan.
b. Penetapan Lokasi Agropolitan; kegiatannya dimulai dari usulan penetapan Kabupaten oleh Pemerintah Propinsi, untuk selanjutnya oleh Pemerintah Kabupaten mengusulkan kawasan agropolitan dengan terlebih dahulu melakukan Identifikasi Potensi dan Masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokasi (komoditas unggulan), antara lain: Potensi SDA, SDM, Kelembagaan, Iklim Usaha, kondisi PSD, dan sebagainya, serta terkait dengan sistem permukiman nasional, propinsi, dan kabupaten.
c. Sosialisasi Program Agropolitan; dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program agropolitan baik di Pusat maupun di Daerah, sehingga pengembangan program agropolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi.
3. KONSEP PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN
Menurut Technical Advisorry Committee of the CGIAR (TAC-CGIAR, 1988), “pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam”.Ciri-ciri pertanian berkelanjutan:
• Mantap secara ekologis, yang berarti kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Dua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman dan hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal digunakan secara ramah dan yang dapat diperbaharui.
• Dapat berlanjut secara ekonomis, yang berarti petani mendapat penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan tenaga dan biaya yang dikeluarkan, dan dapat melestarikan sumberdaya alam dan meminimalisasikan risiko.
• Adil, yang berarti sumberdaya dan kekuasaan disistribusikan sedemikian rupa sehingga keperluan dasar semua anggota masyarakat dapat terpenuhi dan begitu juga hak mereka dalam penggunaan lahan dan modal yang memadai, dan bantuan teknis terjamin. Masyarakat berkesempatan untuk berperanserta dalam pengambilan keputusan, di lapangan dan di masyarakat.
• Manusiawi, yang berarti bahwa martabat dasar semua makhluk hidup (manusia, tanaman, hewan) dihargai dan menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar (kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama, rasa sayang) dan termasuk menjaga dan memelihara integritas budaya dan spiritual masyarakat.
• Luwes, yang berarti masyarakat desa memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan ubahan kondisi usahatni yang berlangsung terus, misalnya, populasi yang bertambah, kebijakan, permintaan pasar, dll.
Anggap saja sistem pertanian berkelanjutan dipandang sebagai suatu paradigma ilmu. Sistem pertanian berkelanjutan sebagai paradigma ilmu membuat khalayak yang mempercayainya hendaknya (a) mengetahui apa yang harus dipelajarinya, (b) apa saja pernyataan-pernyataan yang harus diungkapkan, dan (c) kaidah-kaidah apa saja yang harus dipakai dalam menafsirkan semua jawaban atas fenomena pertanian berkelanjutan.
Dalam perspektif falsafah ilmu berikutnya, suatu paradigma ilmu pada hakekatnya mengharuskan ilmuwan untuk mencari jawaban atas suatu pertanyaan mendasar yaitu bagaimana, apa dan untuk apa.
Tiga pertanyaan di atas dirumuskan menjadi beberapa dimensi yaitu:
a. Dimensi ontologis yaitu apa sebenarnya hakikat dari sesuatu kejadian alam dan sosial ekonomi masyarakat yang dapat diketahuinya atau apa hakikat dari setiap kejadian di sektor pertanian dan sistem pertanian berkelanjutan pertanian selama ini ditinjau sebagai ilmu; mengapa terjadi kerusakan lingkungan; bagaimana hubungan degradasi tersebut dengan sistem nilai masyarakat dan sistem nilai suatu kebijakan pembangunan; bagaimana sektor pertanian di Indonesia dinilai terpinggirkan ketimbang kebijakan industri manufaktur, sehingga terjadi transformasi struktural semu; dsb,
b. Dimensi epistemologis yaitu apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu khususnya di bidang pertanian dengan fenomena obyek yang ditemukannya; bagaimana prosedurnya; hal-hal apa yang seharusnya diperhatikan untuk memperoleh pengetahuan tentang sistem pertanian berkelanjutan yang benar; apa kriteria benar itu; tehnik dan sarana apa untuk mendapatkan pengetahuan sistem pertanian berkelanjutan sebagai suatu ilmu,
c. Dimensi axiologis yaitu seberapa jauh peran sistem nilai dalam suatu penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan; untuk apa mengetahui sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana menentukan obyek dan tehnik prosedural suatu telaahan sistem pertanian berkelanjutan dengan mempertimbangkan kaidah moral atau profesional;
d. Dimensi retorik yaitu apa bahasa yang digunakan dalam penelitian sistem pertanian berkelanjutan; bagaimana dengan bahasa yang dipakai sebagai alat berpikir dan sekaligus menjadi alat komunikasi yang berfungsi untuk menyampaikan jalan pikirannya kepada orang lain; bahasa yang dipakai seharusnya sebagai sarana ilmiah dan tentunya obyektif namun menafikan kecenderungan sifat emotif dan afektif;
e. Dimensi metodologis yaitu bagaimana cara atau metodologi yang dipakai dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan sistem pertanian kaitannya dengan fenomena pertanian berkelanjutan; apakah deduktif atau induktif; monodisiplin, multidisiplin dan interdisiplin; kuantitatif atau kualitatif atau kombinasi keduanya; penelitian dasar atau terapan.Berkaitan pula dengan sistem pertanian berkelanjutan, khususnya bagi yang berminat dalam kegiatan penelitian, diperlukan penerapan metodologi program penelitian.
Meminjam pendapat Imre Lakatos dalam Mohammad Muslih (2005), ada tiga elemen yang harus diketahui dalam program penelitian.
Pertama adalah inti pokok yaitu asumsi-asumsi dasar yang menjadi ciri dari penelitian berbagai aspek yang terkait dengan sistem pertanian berkelanjutan.Kedudukannya sebagai dasar di atas elemen lain yang dicerminkan sebagai hipotesis umum dan kerangka teoretis yang bersifat umum. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul adalah seperti mengapa dan bagaimana timbulnya masalah degradasi lingkungan dan degradasi sosial ekonomi pertanian serta bagaimana peran masyarakat dalam kerusakan lingkungan fisik dan sosial-ekonomi (eksternalitas negatif) yang kemudian dijawab sementara dalam bentuk hipotesis berdasarkan teori dan empirik.
Kedua adalah sebagai lingkaran pelindung yang terdiri dari beberapa hipotesis awal atas terjadinya fenomena di sektor pertanian. Kedudukannya sebagai pelengkap inti pokok agar penelitian tentang pertanian mampu menerangkan dan meramalkan setiap fenomena pertanian berkelanjutan yang nyata. Disini sudah dimunculkan perlakuan bagaimana mengembangkan beragam varian yang kompleks dari suatu sistem pertanian, bagaimana memodifikasinya. Namun teori yang dipakai sebagai suatu struktur yang koheren dapat tetap terbuka untuk dikembangkan. Artinya penelitian sistem pertanian berkelanjutan tidak selalu berlangsung sekali jadi tetapi terbuka untuk penelitian lanjutan.
Ketiga adalah serangkaian teori yaitu keterkaitan antara teori yang satu dengan teori lainnya. Penelitian tentang sistem pertanian berkelanjutan seharusnya dinilai dari serangkaian teori. Karena ciri fenomena pertanian berkelanjutan yang begitu kompleksnya maka dalam penelitian ini sudah dapat diduga teori yang digunakan meliputi antara lain teori ekonomimakro, ekonomimikro, teori ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan, teori ekonomi produksi, teori perilaku konsumen, teori kebijakan lingkungan, kebijakan pertanian, teori ekonomi ketenagakerjaan, sosiologi, antropologi, ekologi manusia, kelembagaan dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar