Kamis, 13 Desember 2012

MODEL SPASIO-TEMPORAL PRAKIRAAN IKLIM UNTUK PRODUKSI APEL




 
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang

Penurunan produksi pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim yang ekstrim, yaitu kekeringan yang sangat panjang dan curah hujan yang berada di atas normal.  Iklim di Jawa Timur telah mengalami perubahan iklim global. Malang Raya sebagai bagian dari propinsi Jawa Timur tidak terlepas pula dari pengaruh perubahan iklim global, dimana kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2008 tercatat rata-rata suhu udara berkisar antara 22,7°C - 25,1°C.
Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum 18,4°C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban maksimum 99% dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember. Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah. 

Perubahan iklim yang terjadi di Malang Raya akan berdampak pada berbagai bidang, salah satunya adalah bidang pertanian. Usaha pertanian yang efektif adalah memadukan penggunaan sumber daya alam terutama iklim dan tanah. Mempelajari perilaku iklim terutama curah hujan setidaknya telah meningkatkan effisiensi penggunaan air, mengurangi resiko bencana alam, banjir dan kekeringan pada tanaman pangan. Selain itu, memudahkan untuk merencanakan pola tanam yang tepat yang tidak terlepas dari penggunaan data hujan seberapun sederhananya. Data yang baik memberikan kontribusi yang optimal pada perencanaan waktu tanam dan menentukan prakiraan iklim yang akurat dalam lingkup area tertentu.
Produktivitas pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu rata-rata global antara 1-20C sehingga meningkatkan risiko bencana kelaparan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola hujan, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan pangan. Langkah yang bias dilakukan adalah melakukan adaptasi (KLH, 1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan menciptakan bibit unggul atau mengatur waktu tanam.
            Jawa Timur merupakan salah satu propinsi penghasil apel di Indonesia khususnya di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar. Jika dilihat dari perkembangannya tanaman apel mengalami masa kejayaan pada tahun 1980-an hingga 1996 dan apel dijadikan sebagai maskot kota Batu. Sentra tanaman apel berada di kecamatan Bumiaji yang menempati luasan sekitar sembilan puluh lima persen dari total lahan apel di Batu.  Namun luas lahan apel dari tahun ke tahun terus menyusut. Berdasarkan data Dinas Pertanian tahun 2009 menyebutkan bahwa luas lahan apel saat ini sekitar 600 hektare, dengan jumlah pohon apel sebanyak 2.506.546. Dari jumlah itu, produksi apel hanya 24.625 ton per tahun.
Berkurangnya lahan apel ini disebabkan oleh banyak terjadi alih fungsi lahan apel menjadi lahan perkebunan jeruk, sayur, dan bunga seperti yang terjadi di Desa Bumiaji, Sidomulyo, dan Punten.  Alih fungsi lahan apel disebabkan  karena tanaman apel sudah tidak bisa tumbuh dengan baik di daerah tersebut. Ditinjau dari perubahan iklim yang terjadi bahwa menurunnya kelembaban udara dan meningkatnya suhu menyebabkan jumlah dan mutu produksi apel terus menurun. Kondisi ini menyimpang dari persyaratan tumbuh yang diperlukan tanaman apel yaitu suhu 16-27 derajat Celsius dengan kelembapan udara 75-85 persen dengan ketinggian ideal untuk tanaman apel berkisar pada 700-1200 mdpl. Dengan adanya kondisi di atas perlu upaya prakiraan iklim khususnya curah hujan sehingga dapat digunakan untuk menentukan crop calendar budidaya apel.
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim ini, adalah melalui pendekatan taktis dengan pengembangan metode dan teknik ramalan musim yang lebih handal, serta melalui penerapan berbagai model dan ragam data (Peragi dan Perhimpi,1994).  Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melakukan prakiraan curah hujan 10 harian untuk kepentingan informasi pertanian. Prakiraan ini digunakan untuk menentukan awal masuk dan berakhirnya musim penghujan atau kemarau. Informasi ini selanjutnya digunakan untuk menentukan kapan awal musim tanam padi harus dilakukan.
Saat ini model-model peramalan iklim mulai banyak dikembangkan di Indonesia dan umumnya menggunakan pendekatan stokastik (Gooddard, 2000). Beberapa model stokastik yang sudah dikembangkan di Indonesia di antaranya model Autoregressive Integrated Moving Average atau ARIMA, Fungsi Transfer, Adaptive Splines Threshold Autore-gression atau ASTAR (lihat Andriansyah, 1998; Boer, Notodiputro, dan Las, 2000).
Beberapa model peramalan iklim yang sering digunakan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah ARIMA, tranformasi wavelet, dan Adaptive Neuro-Fuzzy Inference Systems atau ANFIS (Indragustari, 2005a; 2005b; Nuryadi, 2005).  Permasalahan yang sering muncul dalam hal ini adalah tidak terpenuhinya asumsi kestasioneran, dimana seringkali dijumpai kondisi yang berbeda-beda pada setiap lokasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa model-model tersebut spesifik atau hanya bisa diaplikasikan untuk lokasi tertentu saja.  Model-model peramalan iklim yang berkembang saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan antara lain adalah masih rendahnya akurasi model peramalan yang digunakan, yaitu : (Suhartono, Sutikno, Otok, dan Setiawan, 2009)
(1).    data yang tersedia kurang memadai (terbatas),
(2).    metode-metode yang dikembangkan tidak dapat berlaku umum (setiap lokasi cenderung mempunyai metode tersendiri),
 (3).   metode yang digunakan untuk meramalkan iklim sebagian besar belum melibatkan variabel-variabel indikator iklim lainnya (masih menggunakan metode peramalan univariat).
Seiring dengan perkembangan model peramalan iklim, seringkali dijumpai data yang tidak hanya mengandung keterkaitan dengan kejadian pada waktu-waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai keterkaitan dengan lokasi atau tempat yang lain yang disebut dengan data spasial. Kondisi ini juga berlaku pada data iklim yang cenderung tidak hanya mengandung keterkaitan dengan iklim pada waktu sebelumnya, tetapi juga berkaitan dengan iklim di lokasi yang lainnya yang dikenal dengan fenomena space-time atau spatio-temporal.  Salah satu contoh variabel iklim yang mengikuti pola space-time adalah data tentang curah hujan.
Pendekatan model spatio-temporal berupa model Space-Time AutoRegressive Moving Average (STARMA) merupakan pengembangan model time series ARMA dari Box-Jenkins untuk beberapa lokasi, atau dinamakan model vektor time series (Ruchjana, 2005). Model Space-Time AutoRegressive (STAR) yang merupakan bagian dari model STARMA dari Pfeifer (1980) memiliki keterbatasan, yaitu model tersebut mengasumsikan bahwa parameter untuk semua lokasi yang tersampel bernilai sama, artinya lokasi-lokasi yang diamati bersifat serba sama atau homogen.
Dalam fenomena alam seringkali lokasi-lokasi pengamatan bersifat heterogen. Misalnya di beberapa daerah memiliki curah hujan atau iklim  yang berbeda, sehingga dipredikisi curah hujan di Malang Raya mempunyai heterogenitas yang tinggi.
Untuk mempelajari pendekatan model spatio-temporal bagi lokasi-lokasi dengan sifat heterogenitas yang tinggi, seperti curah hujan di berbagai lokasi di jawa timur khususnya, maka Ruchjana (2002) mengembangkan model STAR menjadi model Generalisasi Space Time AutoRegresi, GSTAR.  Keterbatasan model GSTAR adalah hanya dapat digunakan untuk data yang stasioner saja tanpa mempertimbangkan adanya pola musiman. Sedangkan curah hujan selalu mengandung pola musiman.  Lebih lanjut, penggunaan model GSTAR belum pernah diaplikasikan untuk budidaya apel. Sehingga dalam penelitian ini ingin dikembangkan model GSTAR untuk meramalkan curah hujan di lokasi-lokasi pertanaman apel dengan mempertimbangkan pola musiman.

1.2.   Rumusan Masalah
a.    Bagaimana mengembangkan model prakiraan  
   iklim dengan GSTAR untuk data musiman.
b.    Bagaimana meramalkan curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.

1.3.    Tujuan Penelitian
a)    Mengembangkan model prakiraan iklim dengan menggunakan model GSTAR untuk data musiman.
b)    Meramalkan curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.

1.4  Batasan Masalah
        Penelitian ini dibatasi pada :
1.    Model GSTAR untuk data musiman
2.    Variabel yang digunakan adalah curah hujan
3.  Lokasi yang digunakan tiga lokasi pertanaman apel yaitu Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar.

1.5  Manfaat
a.  Manfaat teoretis hasil penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan model-model peramalan, khususnya yang terkait pada model space-time, melalui model GSTAR  untuk mendapatkan model ramalan iklim yang lebih akurat.
b. Manfaat praktis hasil penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi kepada BMKG dan Departemen Pertanian dalam menyusun kalender tanam di wilayah pertanaman apel sehingga kegagalan panen karena faktor curah hujan akan dapat dikurangi.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.    Agronomi Tanaman Apel
Apel dalam ilmu botani disebut Malus sylvestris Mill. Apel merupakan tanaman buah  tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat dengan iklim sub tropis. Di Indonesia apel telah ditanam sejak tahun 1934 hingga saat ini. Tanaman apel mulai berkembang setelah tahun 1960, terutama jenis Rome Beauty. Menurut sistematika, tanaman apel termasuk dalam:
1) Divisio   : Spermatophyta
2) Subdivisio   : Angiospermae
3) Klas     : Dicotyledonae
4) Ordo    : Rosales
5) Famili  : Rosaceae
6) Genus  : Malus
7) Spesies  : Malus sylvestris Mill
Dari spesies Malus sylvestris Mill ini, terdapat bermacam-macam varietas yang memiliki ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel unggulan antara lain: Rome Beauty,  Manalagi,  Anna, Princess Noble dan Wangli/Lali jiwo.





Gambar 2. 1. Apel (Malus sylvestris Mill)
Sumber: warintek.ristek

Seluruh kultivar apel yang ditanam di Indonesia pada kenyataannya adalah introduksi dari luar negeri. Jenis Rome Beauty merupakan kultivar yang paling banyak ditanam, hampir sekitar 70 % dari total populasi apel di Malang. Tanaman apel di Indonesia dapat dipanen 2 kali setahun, tetapi produksinya selain dipengaruhi oleh umur tanaman juga dipengaruhi oleh musim. Berdasarkan data yang didapat dari Balai Penelitian Hortikultura Malang, produksi apel jenis  Rome Beauty pada musim penghujan lebih sedikit yaitu sekitar 2, 44 kg/pohon/musim, dibandingkan dengan musim kemarau yang bisa mencapai 12,25 kg/pohon/musim. Rendahnya produksi pada musim hujan disebabkan oleh air hujan yang menimpa bunga yang sedang mekar yang dapat menggagalkan penyerbukan (Suhardjo, 1985).

2.2. Teknik Budidaya Tanaman Apel
            Budidaya tanaman apel dilakukan secara bertahap mulai dari pembibitan hingga pemanenan. Perbanyakan tanaman  apel dilakukan secara vegetatif dan generatif. Perbanyakan yang baik dan umum dilakukan adalah perbanyakan vegetatif, sebab perbanyakan generatif memakan waktu lama dan sering menghasilkan bibit yang menyimpang dari induknya. Berikutnya adalah pengolahan media tanam, yang pertama dilakukan adalah persiapan pengolahan tanah dan pelaksanaan survei. Tujuannya untuk mengetahui jenis tanaman, kemiringan tanah, keadaan tanah, menentukan kebutuhan tenaga kerja, bahan paralatan dan biaya yang diperlukan. Tanaman apel dapat ditanam secara monokultur maupun intercroping. Intercroping hanya dapat dilakukan apabila tanah belum tertutup tajuk-tajuk daun atau sebelum 2 tahun. Tapi pada saat ini, setelah melalui beberapa penelitian intercroping pada tanaman apel dapat dilakukan dengan tanaman yang berhabitat rendah, seperti cabai, bawang dan lain-lain. Tanaman apel tidak dapat ditanam pada jarak yang terlalu rapat karena akan menjadi sangat rimbun yang akan menyebabkan kelembaban tinggi, sirkulasi udara kurang, sinar matahari terhambat dan meningkatkan pertumbuhan penyakit. Jarak tanam yang ideal untuk tanaman apel tergantung varietas. Untuk varietas  Manalagi dan Princes Noble adalah 3-3.5 x 3.5 m, sedangkan untuk varietas Rome Beauty dan Anna dapat lebih pendek yaitu 2-3 x 2.5-3 m. Penanaman apel dilakukan baik pada musim penghujan atau kemarau (di sawah). Untuk lahan tegal dianjurkan pada musim hujan. Pemeliharaan Tanaman dilakukan beberapa tahap yaitu: penjarangan dan penyulaman, penyiangan, pembubunan dan perempalan/pemangkasan serta pemupukan. Untuk pemupukan biasanya pupuk yang diberikan pada pengolahan lahan adalah pupuk kandang sebanyak 20 kg per lubang tanam yang dicampur merata dengan tanah, setelah itu dibiarkan selama 2 minggu. Untuk pertumbuhannya, tanaman apel memerlukan pengairan yang memadai sepanjang musim. Pada musim penghujan masalah kekurangan air tidak ditemui, tetapi harus diperhatikan jangan sampai tanaman terendam air. Karena itu perlu drainase yang baik. Sedangkan pada musim kemarau masalah kekurangan air harus diatasi dengan cara menyirami tanaman sekurang kurangnya 2 minggu sekali dengan cara dikocor.
Pada umumnya buah apel dapat dipanen pada umur 4-5 bulan setelah bunga mekar, tergantung pada varietas dan iklim. Rome Beauty dapat dipetik pada umur sekitar 120-141 hari dari bunga mekar Manalagi dapat dipanen pada umur 114 hari setelah bunga mekar dan Anna sekitar 100 hari. Tetapi, pada musim hujan dan tempat lebih tinggi, umur buah lebih panjang. Pemanenan paling baik dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak fisiologis (ripening), yaitu tingkat dimana buah mempunyai kemampuan untuk menjadi masak normal setelah dipanen. Ciri masak fisiologis buah adalah: ukuran buah terlihat maksimal, aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah segar. 

2.3.    Cuaca dan Iklim
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi iklim sama saja dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah suatu kondisi yang tidak sama. Cuaca oleh Gibbs (1987) didefinisikan sebagai keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi. Sedangkan iklim didefinisikan sebagai peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu yang panjang. Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang iklim disebut klimatologi.
            Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim tropica (iklim panas), dan iklim laut.


A.Iklim Musim (Iklim Muson)
Iklim jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan. Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat) dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan. Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.
B.  Iklim Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, sedangkan negara Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim tropis bersifat panas sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan Naik Tropika.
C.  Iklim Laut                                                        
Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi. 
Gambar 2.1 Peta Indonesia
 
tiga-daerah-iklim
            Perubahan iklim
            Unsur iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan, karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Pola hujan di daerah Jawa Timur adalah pola munsonal atau dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap periode tertentu.
                       
2.4  Pengembangan Model Prakiraan Iklim

2.4.1 Model ARIMA

Secara umum model ARIMA musiman merupakan model time series yang fleksibel untuk memodelkan beberapa tipe baik musiman atau non musiman. Model ARIMA musiman menurut Wei, 1990 adalah
      ,              (1)
dengan
                          =         
                      =         
                          =         
                      =          ,
dan  adalah panjang periode musiman,  adalah operator mundur atau back shift operator, dan  adalah suatu deret white noise dengan rata-rata nol dan varians konstan.  Box dan Jenkins pada tahun 1976 telah memperkenalkan suatu strategi pembentukan model yang efektif untuk ARIMA musiman berdasarkan pada struktur autokorelasi dalam suatu data time series (lihat Wei, 1990).

2.4.2 Vector Autoregressive (VAR)
            Vector autoregressive (VAR) dapat didefinisikan sebagai sistem persamaan yang meregresikan setiap peubah endogen terhadap nilai konstan dan nilai lag-nya serta nilai lag dari peubah lain. Vector autoregression (VAR) merupakan siste m persamaan dinamis yang memiliki kemampuan untuk menjelaskan hubungan antar peubah-peubah iklim dan memberikan gambaran statistik yang akurat hubungan diantaranya pada masa lalu.
Menurut Wei (1990), secara umum proses Vektor AR(p) dituliskan sebagai:
                                 
atau
                               
Untuk p=1 atau model vector AR(1) dapat dituliskan sebagai
                                                       
atau
                                                         
Untuk banyaknya peubah endogen M=2,
atau dapat dituliskan
                                    (2.1)
Jadi masing-masing Zi,t melibatkan bukan hanya nilai lagnya sendiri tapi juga nilai lag dari peubah lain Zj,t sebagai contoh jika Z1,t dan Z2,t adalah curah hujan dan suhu yang diamati dari suatu lokasi pada saat ke-t, persamaan (2.1) menyatakan secara tidak langsung bahwa curah hujan saat ini tidak hanya tergantung pada curah hujan satu periode sebelumnya tapi juga dipengaruhi oleh suhu periode satu periode sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hubungan bolak balik di antara kedua variabel tersebut, sehingga suhu saat ini juga dipengaruhi oleh curah hujan pada periode sebelumnya.

2.4.3  Model STAR (Space-Time Autoregressive)
                        Model eksplisit yang memperhitungkan ketergantungan spasial disebut sebagai space time model. Model space time autoregressive (STAR) diperkenalkan oleh Cliff (1976) dan Ord (1973).  Sejak tahun 1979, Pfeifer mempelajari model Space Time Autoregressive (STAR)  dengan bobot seragam dan menggabungkan autoregressive (AR) model Box-Jenkins (1976) dari beberapa lokasi secara bersamaan.  Asumsi utama dari model STAR adalah parameter autoregressive sama dan parameter space-time untuk semua lokasi homogen. Model Space Time Autoregressive orde p dan spasial orde λ1, …,λp  (STAR(1, …, λp)) dirumuskan sebagai berikut (Pfeifer-Deutsch, 1980b):

                              (2.20)   

di mana:
.=  parameter STAR pada lag waktu k dan lag spasial l,
 =  matriks bobot ukuran () pada lag spasial l (di mana l = 0,1), dengan  adalah  matriks identitas ukuran (),
 =  vektor noise ukuran () berdistribusi normal  multivariat dengan mean 0 dan matriks varians-kovarians  ,
  =   vektor acak ukuran () pada waktu t, yaitu
.  
  =   jumlah lokasi.

2.4.4     Model Generalized Space Time Autregressive (GSTAR)
            Generalized Space Time Autoregressive (GSTAR) model yang relatif baru untuk data time series.  GSTAR merupakan generalisasi dari model Space Time Autoregresssive (STAR).  Model GSTAR  adalah bentuk spesifik dari model VAR (Vector Auto Regressive), ini menunjukkan dependensi linier space-time. Perbadaan utama adalah pada spatial dependent dan berat matriks.
            Model GSTAR orde p dan spasial orde λ1 λ2,..., λp, GSTAR      (p λ1 λ2,..., λp) dirumuskan sebagai berikut (Borovkova, Lopuhaä and
Nurani, 2002):
            (2.21)      
di mana:
    Pembobot dipilih sedemikian hingga  dan      
Sebagai contoh, model GSTAR (11) untuk kasus produksi oli bulanan di 3 lokasi yang berbeda, sebagai berikut:
                            (2.22)
atau
              Pendugaan parameter model GSTAR dilakukan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan meminimumkan jumlah kuadrat simpangannya.

2.4.5  Pendugaan Parameter Autoregresi untuk GSTAR   Orde 1
            Mengingat model GSTAR (11) didefinisikan pada persamaan (2.20), di mana :
 untuk k = 0,1,…,dst
Apabila t = 0, 1, …, T ; untuk lokasi ke-i = 1, 2, …, N lalu dengan                                                        (2.26)
Model persamaan untuk lokasi ke-i  dapat ditulis sebagai berikut
                                                                           (2.27)
di mana
 ,  ,  ,

Persamaan model untuk semua lokasi secara serentak mengikuti struktur model linier , dengan ,              ,  dan .
Untuk setiap lokasi ke-i = 1,2,…,N, didapatkan model parsialnya   , di mana rata-rata untuk setiap pendugaan kuadrat terkecil untuk βi  dapat diperhitungkan secara terpisah.  Bagaimanapun juga nilai pendugaan tergantung pada nilai Z(t) pada lokasi yang lain karena 
Tujuan secara teoritis, akan membawa ke beberapa struktur tambahan untuk memisahkan bobot wij dari variabel acak Zi(t).  Jika untuk setiap   maka didefinisikan sebagai berikut:
                       (2.28)
Lalu Xi dapat ditulis
 ,                                     (2.29)
 dan demikian
                             (2.30)
di mana .   merupakan matriks blok  .  Disimpulkan bahwa pendugaan kuadrat terkecil 
  cukup baik pada persamaan umum  dengan X dan u dari penjelasan diatas.  Dapat menentukan secara khusus bahwa matriks X’X adalah nonsingular. Dapat dilihat dari persamaan (2.30) mengikuti hal tersebut, yaitu:
di mana operator vec (.) merupakan tumpukan kolom matriks. Hal ini dibatasi  oleh perilaku   yang sepenuhnya dipengaruhi oleh



2.4.6  Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR
Permasalahan yang sering terjadi pada pemodelan GSTAR adalah pemilihan atau penentuan bobot lokasi.  Menurut Suhartono dan Atok (2006) terdapat beberapa cara untuk menentukan bobot lokasi pada aplikasi model GSTAR yaitu:




Gambar 2.1 Contoh kasus untuk perhitungan bobot lokasi
a.    Bobot seragam (uniform)
Bobot seragam dihitung dengan rumus  dengan ni adalah jumlah lokasi yang berdekatan dengan lokasi i.  Bobot lokasi digunakan untuk data yang lokasinya homogen atau mempunyai jarak antar lokasi yang sama.  Nilai bobot untuk ketiga lokasi yang berbeda dari contoh lokasi pada gambar 2.1 dapat ditulis sebagai berikut:
                                   (2.38)
b.    Bobot inverse jarak
Nilai bobot invers jarak didapatkan dari perhitungan berdasarkan jarak sebenarnya anatar lokasi. Lokasi yang berdekatan mempunyai nilai bobot yang lebih besar.

2.4.7  Kriteria Pemilihan Model Terbaik
            Pemilihan kriteria model terbaik dapat dilihat melalui Akaike’s Information Criterion (AIC) dan nilai Root Mean Squared Error (RMSE).  Akaike’s Information Criterion (AIC) digunakan pada in sample sedangkan Root Mean Squared Error (RMSE) digunakan untuk out sample.  Berikut akan dijelaskan masing-masing kriteria pemilihan model terbaik.



a.    Akaike’s Information Criteria (AIC)
            Menentukan model terbaik dalam data training yaitu menggunakan Akaike’s Information Criteria (AIC).  Pada suatu model dikatakan baik apabila nilai AIC nya paling kecil.  Berikut perhitungan nilai AIC (Lutkepohl, 2005) :
AIC (p) = log det                                              (2.39) 
di mana :        
Log adalah notasi logaritma natural
Det (.) adalah notasi determinan
  adalah matriks taksiran kovarian residual dari model VAR (p)

b.    Root Mean Squared Error (RMSE)
Penaksiran dengan nilai sebenarnya dari observasi disebut Root Mean Squared Error (RMSE).  Fungsi RMSE yaitu memperoleh gambaran tentang standar deviasi yang muncul saat perbedaan antar model. Nilai RMSE diperoleh dari rumus sebagai berikut :
                     (2.40)
di mana: M adalah banyak ramalan yang dilakukan














                         BAB III. KERANGKA KONSEP PENELITIAN
 
                   Time Series Univariate  (Box-Jenkin, 1976)
                   ARIMA : 
                                 







 VAR Multivariate (Hanan, 1969 ; Wei, 2006 ; 
                                    Lopuhaa ; Judge)

                   


 




 



























BAB IV.  METODE PENELITIAN

4.1 Sumber Data
            Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang di peroleh dari hasil pengamatan tim BMKG Stasiun Klimatologi Karangploso Kabupaten  Malang.  Data ini berupa data pengamatan intensitas curah hujan dasa harian 3 lokasi pos hujan di Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar selama 20 tahun dari tahun 1990-2009.

4.2  Tempat dan Waktu Penelitian
Obyek penelitian adalah kawasan yang mewakili daerah-daerah  apel di wilayah Kabupaten Malang.

Gambar 3.1 . Peta situasi lokasi penelitian
           
Wilayah-wilayah tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa sebaran pertanaman apel di kabupaten Malang masih relatif luas pada berbagai varietas. 
4.3   Teknik Pengambilan Sampel
Untuk mendapatkan data produksi apel dilakukan dengan mengambil data primer dan sekunder.

4.3.1      Tahapan Pengumpulan Data








 












Gambar 3.2.  Diagram Alir Pengumpulan Data Produksi Apel




4.4.  Analisis Data

            Tahapan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.    Memeriksa data apakah stasioner atau tidak dengan cara melihat plot ACF dan PACF. Apabila tidak stasioner dalam mean dilakukan differencing
2.    Menentukan MACF, MPACF dan memilih model terbaik dengan menggunakan AIC pada persamaan (2.39).
3.    Menentukan orde VAR model GSTAR-I yang akan dipakai untuk menentukan model di setiap lokasi pos hujan.
4.    Analisis data menggunakan model GSTARI untuk masing-masing bobot lokasi.
5.    Mendapatkan model GSTARI tiap lokasi pos hujan untuk masing-masing bobot lokasi.
6.    Uji signifikasi parameter dan cek diagnosa kesesuaian model
-          Evaluasi white noise dari residual model GSTAR-I.
7.    Melakukan forecast / peramalan curah hujan untuk 3 lokasi pos hujan dengan menggunakan model GSTARI.
8.    Validasi model untuk data out sample (menggunakan RMSE)
9.    Menyusun kesimpulan untuk menjawab permasalahan.













 

                                                                              
                                                                                          
                                                                                         Tidak

                                                                                              
                                                                Ya


                                                                   






 





                                                                                      Tidak




                                                                  Ya 
                                                      

                                                                     
                    Gambar 3.1 Diagram Alir Pembentukan Model GSTAR-I
4.5. Implementasi Prakiraan Iklim model GSTAR Untuk Data Musiman
Implementasi prakiraan iklim model GSTAR dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Matlab atau R. Selanjutnya hasil prakiraan disajikan dalam bentuk peta kesesuaian iklim untuk pertanaman apel.
DAFTAR PUSTAKA

Borovkova, S.A.; LopuhaTM, and Ruchjana, B.N.  2002.  Generalized S-TAR with Random Weights.  Proceeding of the 17th International Workshop on Statistical Modeling.  Chania-Greece.
Borovkova, S.A.; LopuhaTM, and Ruchjana, B.N.  2002.  The Space Time Autoregressive Models.  Workshop on Space Time Models and Its Applications.  Bandung, 2-4 Agustus 2005.
Chiles, J.P., Pierre Delfiner.  1999.  Geostatistics. Modeling Spatial Uncertainty. A Wiley Interscience Publication.  John Wiley & Sons, Inc.
Fotheringham, A.S., Brunsdon C, Carlton M.  2002.  Geographically Weighted Regression. John Wiley & Sons, Ltd.  England.
Hannan, E.J.  1970.  Multiple Time Series.  John Wiley and Sons, Inc.  New York.
Hanan S.  1990.  The Design and Analysis of Spatial Data Structures. John Wiley and Sons, Inc.  New York.
Ingragustari. 2005a. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan Transformasi Wavelet. Prosiding Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan Validasi BMG. Hotel Nam Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember 2005.
Ingragustari. 2005b. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan ANFIS. Prosiding Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan Validasi BMG. Hotel Nam Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember 2005.
Peragi dan Perhimpi.  1994. Rumusan Panel Diskusi Antisipasi Kekeringan Dan Penanggulangan Jangka Panjang.  Dalam I. Las, N. Sinulingga, R. Boer, Handoko, E. Syamsudin dan D. Sopandi (Editor). Prosiding Panel Diskusi Antisipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang. Perhimpun-an Agronomi Indonesia dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia.
Pfeifer, P.E.  1979.  Spatial Dynamic Modeling, unpublished Ph.D Dissertation.  Georgia Institute of Technology.  Georgia.
Pfeifer, P.E and Deutsch, S.J.  1980.  Stationarity and Invertibility Regions for Low Order STARMA Models.  Communications in Statistics-Simulation and Computation 9 (5). P. 551-562.
Ruchjana, B.N. et al.  1999.  The Study of the Location Weighted Matrix in the First Order Space-Time Autoregressive Model.  Proceeding of the SEAMS-GMU International Conference on Mathematics and Its Application. Sri Wahyuni et al., Editor.  UGM.  Yogyakarta. P. 408-417.
________,  2001.  Study on the Weight Matrix in the Space-Time Autoregressive Model.  Proceeding of the Tenth International Symposium on Applied Stochastic Models and Data Analysis (ASMDA).  Gerard Govaert, et al.  Editor. Universite de Technologie Compiegne.  Prancis.  Vol. 2/2.  p. 789-794.      
Setiawan. 1992. Kajian tentang Seemingly Unrelated Regression (SUR) dan Penerapannya Pada model Almost Ideal Demand System (AIDS). Thesis. IPB. Bogor.
Suhartono, Sutikno, Otok, B.W., dan Setiawan. 2009. Pengembangan model prakiraan iklim untuk pengendalian ketahanan pangan. Laporan Penelitian Strategis ITS, Surabaya.                           
Zifwen. 1999. Peramalan ENSO dan Pemodelan Hubungan ENSO dengan Curah Hujan Monson. Skripsi Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.
Wutsqa, D.U., Suhartono and Sutijo, B. 2010. Generalized Space-Time Auto-regressive Modeling. Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on Mathematics, Statistics and its Applications (ICMSA2010), Universiti Tunku Abdul Rahman, Kuala Lumpur, Malaysia, pp. 752-761.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar