BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penurunan produksi
pertanian sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim yang ekstrim, yaitu
kekeringan yang sangat panjang dan curah hujan yang berada di atas normal. Iklim di Jawa Timur
telah mengalami perubahan iklim global. Malang Raya sebagai bagian dari
propinsi Jawa Timur tidak terlepas pula dari pengaruh perubahan iklim global,
dimana kondisi iklim Kota Malang selama tahun 2008 tercatat rata-rata suhu
udara berkisar antara 22,7°C - 25,1°C.
Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum 18,4°C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban maksimum 99% dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember. Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah.
Sedangkan suhu maksimum mencapai 32,7°C dan suhu minimum 18,4°C . Rata kelembaban udara berkisar 79% - 86%. Dengan kelembaban maksimum 99% dan minimum mencapai 40%. Seperti umumnya daerah lain di Indonesia, Malang Raya mengikuti perubahan putaran 2 iklim, musim hujan, dan musim kemarau. Dari hasil pengamatan Stasiun Klimatologi Karangploso Curah hujan yang relatif tinggi terjadi pada bulan Pebruari, Nopember, Desember. Sedangkan pada bulan Juni dan September Curah hujan relatif rendah.
Perubahan
iklim yang terjadi di Malang Raya akan berdampak pada berbagai bidang, salah
satunya adalah bidang pertanian. Usaha pertanian yang efektif adalah memadukan
penggunaan sumber daya alam terutama iklim dan tanah. Mempelajari perilaku
iklim terutama curah hujan setidaknya telah meningkatkan effisiensi penggunaan
air, mengurangi resiko bencana alam, banjir dan kekeringan pada tanaman pangan.
Selain itu, memudahkan untuk merencanakan pola tanam yang tepat yang tidak
terlepas dari penggunaan data hujan seberapun sederhananya. Data yang baik
memberikan kontribusi yang optimal pada perencanaan waktu tanam dan menentukan
prakiraan iklim yang akurat dalam lingkup area tertentu.
Produktivitas
pertanian di daerah tropis akan mengalami penurunan bila terjadi kenaikan suhu
rata-rata global antara 1-20C sehingga meningkatkan risiko bencana
kelaparan. Meningkatnya frekuensi kekeringan dan banjir diperkirakan akan
memberikan dampak negatif pada produksi lokal, terutama pada sektor penyediaan
pangan di daerah subtropis dan tropis. Terjadinya perubahan musim di mana musim
kemarau menjadi lebih panjang sehingga menyebabkan gagal panen, krisis air
bersih dan kebakaran hutan. Terjadinya pergeseran musim dan perubahan pola
hujan, mengakibatkan Indonesia harus mengimpor bahan pangan. Langkah yang bias
dilakukan adalah melakukan adaptasi (KLH, 1998). Adaptasi bisa dilakukan dengan
menciptakan bibit unggul atau mengatur waktu tanam.
Jawa
Timur merupakan salah satu propinsi penghasil apel di Indonesia khususnya di
Batu, Poncokusumo dan Nongkojajar. Jika dilihat dari perkembangannya tanaman
apel mengalami masa kejayaan pada tahun 1980-an hingga 1996 dan apel dijadikan
sebagai maskot kota Batu. Sentra tanaman apel berada di kecamatan Bumiaji yang
menempati luasan sekitar sembilan puluh lima persen dari total lahan apel di
Batu. Namun luas lahan apel dari tahun
ke tahun terus menyusut. Berdasarkan data Dinas Pertanian tahun 2009
menyebutkan bahwa luas lahan apel saat ini sekitar 600 hektare, dengan jumlah
pohon apel sebanyak 2.506.546. Dari jumlah itu, produksi apel hanya 24.625 ton
per tahun.
Berkurangnya lahan apel
ini disebabkan oleh banyak terjadi alih fungsi lahan apel menjadi lahan
perkebunan jeruk, sayur, dan bunga seperti yang terjadi di Desa Bumiaji,
Sidomulyo, dan Punten. Alih fungsi lahan
apel disebabkan karena tanaman apel
sudah tidak bisa tumbuh dengan baik di daerah tersebut. Ditinjau dari perubahan
iklim yang terjadi bahwa menurunnya kelembaban udara dan meningkatnya suhu
menyebabkan jumlah dan mutu produksi apel terus menurun. Kondisi ini menyimpang
dari persyaratan tumbuh yang diperlukan tanaman apel yaitu suhu 16-27 derajat
Celsius dengan kelembapan udara 75-85 persen dengan ketinggian ideal untuk
tanaman apel berkisar pada 700-1200 mdpl. Dengan adanya kondisi di atas perlu
upaya prakiraan iklim khususnya curah hujan sehingga dapat digunakan untuk
menentukan crop calendar budidaya apel.
Salah satu upaya yang
bisa dilakukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim ini, adalah melalui
pendekatan taktis dengan pengembangan metode dan teknik ramalan musim yang
lebih handal, serta melalui penerapan berbagai model dan ragam data (Peragi dan
Perhimpi,1994). Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah
melakukan prakiraan curah hujan 10 harian untuk kepentingan informasi
pertanian. Prakiraan ini digunakan untuk menentukan awal masuk dan berakhirnya
musim penghujan atau kemarau. Informasi ini selanjutnya digunakan untuk
menentukan kapan awal musim tanam padi harus dilakukan.
Saat ini model-model
peramalan iklim mulai banyak dikembangkan di Indonesia dan umumnya menggunakan
pendekatan stokastik (Gooddard, 2000). Beberapa model stokastik yang sudah
dikembangkan di Indonesia di antaranya model Autoregressive Integrated
Moving Average atau ARIMA, Fungsi Transfer, Adaptive Splines Threshold
Autore-gression atau ASTAR (lihat Andriansyah, 1998; Boer, Notodiputro,
dan Las, 2000).
Beberapa model peramalan iklim yang sering digunakan oleh
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika adalah ARIMA, tranformasi wavelet,
dan Adaptive Neuro-Fuzzy Inference Systems atau ANFIS (Indragustari,
2005a; 2005b; Nuryadi, 2005). Permasalahan
yang sering muncul dalam hal ini adalah tidak terpenuhinya asumsi
kestasioneran, dimana seringkali dijumpai kondisi yang berbeda-beda pada setiap
lokasi. Lebih lanjut dikatakan bahwa model-model tersebut spesifik atau hanya
bisa diaplikasikan untuk lokasi tertentu saja.
Model-model peramalan iklim yang berkembang saat ini belum memberikan
hasil yang memuaskan. Faktor yang menyebabkan antara lain adalah masih
rendahnya akurasi model peramalan yang digunakan, yaitu : (Suhartono, Sutikno, Otok, dan Setiawan, 2009)
(1). data yang
tersedia kurang memadai (terbatas),
(2). metode-metode
yang dikembangkan tidak dapat berlaku umum (setiap lokasi cenderung mempunyai
metode tersendiri),
(3). metode yang digunakan untuk meramalkan iklim
sebagian besar belum melibatkan variabel-variabel indikator iklim lainnya
(masih menggunakan metode peramalan univariat).
Seiring dengan perkembangan
model peramalan iklim, seringkali dijumpai data yang tidak hanya mengandung
keterkaitan dengan kejadian pada waktu-waktu sebelumnya, tetapi juga mempunyai
keterkaitan dengan lokasi atau tempat yang lain yang disebut dengan data
spasial. Kondisi ini juga berlaku pada data iklim yang cenderung tidak hanya
mengandung keterkaitan dengan iklim pada waktu sebelumnya, tetapi juga
berkaitan dengan iklim di lokasi yang lainnya yang dikenal dengan fenomena space-time
atau spatio-temporal. Salah satu
contoh variabel iklim yang mengikuti pola space-time adalah data tentang
curah hujan.
Pendekatan model spatio-temporal berupa model
Space-Time AutoRegressive Moving Average (STARMA) merupakan pengembangan model
time series ARMA dari Box-Jenkins untuk beberapa lokasi, atau dinamakan model
vektor time series (Ruchjana, 2005). Model Space-Time AutoRegressive (STAR)
yang merupakan bagian dari model STARMA dari Pfeifer (1980) memiliki
keterbatasan, yaitu model tersebut mengasumsikan bahwa parameter untuk semua
lokasi yang tersampel bernilai sama, artinya lokasi-lokasi yang diamati
bersifat serba sama atau homogen.
Dalam fenomena alam seringkali lokasi-lokasi
pengamatan bersifat heterogen. Misalnya di beberapa daerah memiliki curah hujan
atau iklim yang berbeda, sehingga
dipredikisi curah hujan di Malang Raya mempunyai heterogenitas yang tinggi.
Untuk mempelajari pendekatan model
spatio-temporal bagi lokasi-lokasi dengan sifat heterogenitas yang tinggi,
seperti curah hujan di berbagai lokasi di jawa timur khususnya, maka Ruchjana
(2002) mengembangkan model STAR menjadi model Generalisasi Space Time
AutoRegresi, GSTAR. Keterbatasan model
GSTAR adalah hanya dapat digunakan untuk data yang stasioner saja tanpa
mempertimbangkan adanya pola musiman. Sedangkan curah hujan selalu mengandung
pola musiman. Lebih lanjut, penggunaan
model GSTAR belum pernah diaplikasikan untuk budidaya apel. Sehingga dalam
penelitian ini ingin dikembangkan model GSTAR untuk meramalkan curah hujan di
lokasi-lokasi pertanaman apel dengan mempertimbangkan pola musiman.
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana mengembangkan model prakiraan
iklim dengan GSTAR untuk data
musiman.
b. Bagaimana meramalkan
curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.
1.3. Tujuan Penelitian
a)
Mengembangkan
model prakiraan iklim dengan menggunakan model GSTAR untuk data musiman.
b)
Meramalkan curah hujan dengan menggunakan model GSTAR.
1.4 Batasan Masalah
Penelitian ini
dibatasi pada :
1. Model GSTAR untuk data musiman
2. Variabel yang digunakan adalah
curah hujan
3. Lokasi yang digunakan tiga lokasi pertanaman
apel yaitu Batu,
Poncokusumo dan Nongkojajar.
1.5 Manfaat
a. Manfaat
teoretis hasil penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat mengembangkan model-model peramalan, khususnya yang
terkait pada model space-time, melalui model GSTAR untuk mendapatkan model ramalan iklim yang
lebih akurat.
b. Manfaat
praktis hasil penelitian
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi kepada BMKG dan
Departemen Pertanian dalam menyusun kalender tanam di wilayah pertanaman apel
sehingga kegagalan panen karena faktor curah hujan akan dapat dikurangi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Agronomi Tanaman Apel
Apel dalam ilmu
botani disebut Malus sylvestris Mill. Apel merupakan tanaman buah tahunan yang berasal dari daerah Asia Barat
dengan iklim sub tropis. Di Indonesia apel telah ditanam sejak tahun 1934
hingga saat ini. Tanaman apel mulai berkembang setelah tahun 1960, terutama
jenis Rome Beauty. Menurut sistematika, tanaman apel termasuk dalam:
1)
Divisio : Spermatophyta
2)
Subdivisio : Angiospermae
3) Klas : Dicotyledonae
4) Ordo : Rosales
5)
Famili : Rosaceae
6)
Genus : Malus
7)
Spesies : Malus sylvestris Mill
Dari spesies Malus sylvestris Mill ini, terdapat bermacam-macam varietas
yang memiliki ciri-ciri atau kekhasan tersendiri. Beberapa varietas apel
unggulan antara lain: Rome Beauty,
Manalagi, Anna, Princess Noble
dan Wangli/Lali jiwo.
Gambar 2. 1. Apel (Malus sylvestris Mill)
Sumber: warintek.ristek
Seluruh kultivar apel yang ditanam di
Indonesia pada kenyataannya adalah introduksi dari luar negeri. Jenis Rome
Beauty merupakan kultivar yang paling banyak ditanam, hampir sekitar 70 % dari
total populasi apel di Malang. Tanaman apel di Indonesia dapat dipanen 2 kali
setahun, tetapi produksinya selain dipengaruhi oleh umur tanaman juga
dipengaruhi oleh musim. Berdasarkan data yang didapat dari Balai Penelitian
Hortikultura Malang, produksi apel jenis
Rome Beauty pada musim penghujan lebih sedikit yaitu sekitar 2, 44
kg/pohon/musim, dibandingkan dengan musim kemarau yang bisa mencapai 12,25
kg/pohon/musim. Rendahnya produksi pada musim hujan disebabkan oleh air hujan
yang menimpa bunga yang sedang mekar yang dapat menggagalkan penyerbukan
(Suhardjo, 1985).
2.2. Teknik Budidaya Tanaman Apel
Budidaya tanaman apel dilakukan
secara bertahap mulai dari pembibitan hingga pemanenan. Perbanyakan
tanaman apel dilakukan secara vegetatif
dan generatif. Perbanyakan yang baik dan umum dilakukan adalah perbanyakan vegetatif,
sebab perbanyakan generatif memakan waktu lama dan sering menghasilkan bibit
yang menyimpang dari induknya. Berikutnya adalah pengolahan media tanam, yang
pertama dilakukan adalah persiapan pengolahan tanah dan pelaksanaan survei.
Tujuannya untuk mengetahui jenis tanaman, kemiringan tanah, keadaan tanah,
menentukan kebutuhan tenaga kerja, bahan paralatan dan biaya yang diperlukan.
Tanaman apel dapat ditanam secara monokultur maupun intercroping. Intercroping hanya dapat
dilakukan apabila tanah belum tertutup tajuk-tajuk daun atau sebelum 2 tahun.
Tapi pada saat ini, setelah melalui beberapa penelitian intercroping pada
tanaman apel dapat dilakukan dengan tanaman yang berhabitat rendah, seperti
cabai, bawang dan lain-lain. Tanaman apel tidak dapat ditanam pada jarak yang
terlalu rapat karena akan menjadi sangat rimbun yang akan menyebabkan
kelembaban tinggi, sirkulasi udara kurang, sinar matahari terhambat dan
meningkatkan pertumbuhan penyakit. Jarak tanam yang ideal untuk tanaman apel
tergantung varietas. Untuk varietas
Manalagi dan Princes Noble adalah 3-3.5 x 3.5 m, sedangkan untuk
varietas Rome Beauty dan Anna dapat lebih pendek yaitu 2-3 x 2.5-3 m.
Penanaman apel dilakukan baik pada musim penghujan atau kemarau (di sawah).
Untuk lahan tegal dianjurkan pada musim hujan. Pemeliharaan Tanaman dilakukan
beberapa tahap yaitu: penjarangan dan penyulaman, penyiangan, pembubunan dan
perempalan/pemangkasan serta pemupukan. Untuk pemupukan biasanya pupuk yang
diberikan pada pengolahan lahan adalah pupuk kandang sebanyak 20 kg per lubang
tanam yang dicampur merata dengan tanah, setelah itu dibiarkan selama 2 minggu.
Untuk pertumbuhannya, tanaman apel memerlukan pengairan yang memadai
sepanjang musim. Pada musim penghujan masalah kekurangan air tidak ditemui,
tetapi harus diperhatikan jangan sampai tanaman terendam air. Karena itu perlu
drainase yang baik. Sedangkan pada musim kemarau masalah kekurangan air harus
diatasi dengan cara
menyirami tanaman sekurang kurangnya 2 minggu sekali dengan cara dikocor.
Pada umumnya buah apel dapat dipanen pada
umur 4-5 bulan setelah bunga mekar, tergantung pada varietas dan iklim. Rome
Beauty dapat dipetik pada umur
sekitar 120-141 hari dari bunga mekar Manalagi dapat dipanen pada umur 114 hari
setelah bunga mekar dan Anna sekitar 100 hari. Tetapi, pada musim hujan dan
tempat lebih tinggi, umur buah lebih panjang. Pemanenan paling
baik dilakukan pada saat tanaman mencapai tingkat masak fisiologis (ripening),
yaitu tingkat dimana buah mempunyai kemampuan untuk menjadi masak normal
setelah dipanen. Ciri masak fisiologis buah adalah: ukuran buah terlihat
maksimal, aroma mulai terasa, warna buah tampak cerah segar.
2.3.
Cuaca dan Iklim
Pada umumnya orang sering menyatakan kondisi
iklim sama saja dengan kondisi cuaca, padahal kedua istilah tersebut adalah
suatu kondisi yang tidak sama. Cuaca oleh Gibbs (1987) didefinisikan sebagai
keadaan atmosfer yang dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain
suhu, tekanan, angin, kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat
atau wilayah selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim,
tahun). Ilmu yang mempelajari seluk beluk tentang cuaca disebut meteorologi.
Sedangkan iklim didefinisikan sebagai peluang statistik berbagai keadaan
atmosfer, antara lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu
daerah selama kurun waktu yang panjang. Ilmu yang mempelajari seluk beluk
tentang iklim disebut klimatologi.
Indonesia mempunyai karakteristik
khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai
karakteristik iklim yang spesifik. Di Indonesia terdapat tiga jenis iklim yang
mempengaruhi iklim di Indonesia, yaitu iklim musim (muson), iklim tropica
(iklim panas), dan iklim laut.
A.Iklim
Musim (Iklim Muson)
Iklim
jenis ini sangat dipengaruhi oleh angin musiman yang berubah-ubah setiap
periode tertentu. Biasanya satu periode perubahan angin muson adalah 6 bulan.
Iklim musim terdiri dari 2 jenis, yaitu Angin musim barat daya (Muson Barat)
dan Angin musim timur laut (Muson Tumur). Angin muson barat bertiup sekitar
bulan Oktober hingga April yang basah sehingga membawa musim hujan/penghujan.
Angin muson timur bertiup sekitar bulan April hingga bulan Oktober yang
sifatnya kering yang mengakibatkan wilayah Indonesia mengalami musim kering/kemarau.
B. Iklim
Tropis/Tropika (Iklim Panas)
Wilayah
yang berada di sekitar garis khatulistiwa otomatis akan mengalami iklim tropis
yang bersifat panas dan hanya memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim
hujan. Umumnya wilayah Asia tenggara memiliki iklim tropis, sedangkan negara
Eropa dan Amerika Utara mengalami iklim subtropis. Iklim tropis bersifat panas
sehingga wilayah Indonesia panas yang mengundang banyak curah hujan atau Hujan
Naik Tropika.
C. Iklim
Laut
Indonesia
yang merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah laut mengakibatkan
penguapan air laut menjadi udara yang lembab dan curah hujan yang tinggi.
|
Perubahan iklim
Unsur
iklim yang sering dan menarik untuk dikaji di Indonesia adalah curah hujan,
karena tidak semua wilayah Indonesia mempunyai pola hujan yang sama. Pola hujan
di daerah Jawa Timur adalah pola munsonal atau dipengaruhi oleh angin musiman
yang berubah-ubah setiap periode tertentu.
2.4
Pengembangan Model Prakiraan Iklim
2.4.1 Model ARIMA
Secara umum model
ARIMA musiman merupakan model time series yang fleksibel untuk memodelkan
beberapa tipe baik musiman atau non musiman. Model ARIMA musiman menurut Wei,
1990 adalah
, (1)
dengan
=
=
=
= ,
dan adalah panjang periode
musiman, adalah operator mundur
atau back shift operator, dan adalah suatu deret white
noise dengan rata-rata nol dan varians konstan. Box dan Jenkins pada tahun 1976 telah
memperkenalkan suatu strategi pembentukan model yang efektif untuk ARIMA
musiman berdasarkan pada struktur autokorelasi dalam suatu data time series
(lihat Wei, 1990).
2.4.2 Vector Autoregressive (VAR)
Vector autoregressive (VAR) dapat didefinisikan sebagai sistem persamaan yang
meregresikan setiap peubah endogen terhadap nilai konstan dan nilai lag-nya
serta nilai lag dari peubah lain. Vector autoregression (VAR) merupakan siste
m persamaan dinamis yang memiliki kemampuan untuk
menjelaskan hubungan antar peubah-peubah iklim dan memberikan gambaran statistik yang akurat hubungan
diantaranya pada masa lalu.
Menurut Wei (1990), secara umum proses Vektor AR(p)
dituliskan sebagai:
atau
Untuk p=1 atau model vector AR(1) dapat dituliskan
sebagai
atau
Untuk banyaknya peubah endogen M=2,
atau dapat dituliskan
(2.1)
Jadi masing-masing Zi,t melibatkan bukan hanya
nilai lagnya sendiri tapi juga nilai lag dari peubah lain Zj,t
sebagai contoh jika Z1,t dan Z2,t adalah curah
hujan dan suhu yang diamati dari suatu lokasi pada saat ke-t, persamaan (2.1) menyatakan secara tidak langsung bahwa curah
hujan saat ini tidak hanya tergantung
pada curah
hujan satu periode sebelumnya tapi juga
dipengaruhi oleh suhu periode satu periode sebelumnya. Selain itu, terdapat pula hubungan bolak
balik di antara
kedua variabel tersebut, sehingga suhu saat ini juga dipengaruhi oleh curah
hujan pada periode sebelumnya.
2.4.3 Model STAR (Space-Time Autoregressive)
Model eksplisit yang
memperhitungkan ketergantungan spasial disebut sebagai space time model. Model space
time autoregressive (STAR) diperkenalkan oleh Cliff (1976) dan Ord
(1973). Sejak tahun 1979, Pfeifer
mempelajari model Space Time
Autoregressive (STAR) dengan bobot
seragam dan menggabungkan autoregressive
(AR) model Box-Jenkins (1976) dari beberapa lokasi secara bersamaan. Asumsi utama dari model STAR adalah parameter
autoregressive sama dan parameter space-time untuk semua lokasi homogen.
Model Space Time Autoregressive orde p dan spasial orde λ1, …,λp (STAR(pλ1,
…, λp)) dirumuskan sebagai berikut (Pfeifer-Deutsch, 1980b):
(2.20)
di
mana:
.= parameter
STAR pada lag waktu k dan lag spasial
l,
= matriks bobot ukuran ()
pada lag spasial l (di mana l = 0,1), dengan adalah
matriks identitas ukuran (),
= vektor noise ukuran ()
berdistribusi normal multivariat dengan
mean 0 dan matriks varians-kovarians ,
=
vektor acak ukuran ()
pada waktu t, yaitu
.
=
jumlah lokasi.
2.4.4
Model
Generalized Space Time Autregressive (GSTAR)
Generalized
Space Time Autoregressive (GSTAR) model yang relatif baru untuk
data time series. GSTAR merupakan
generalisasi dari model Space Time
Autoregresssive (STAR). Model
GSTAR adalah bentuk spesifik dari model
VAR (Vector Auto Regressive), ini
menunjukkan dependensi linier space-time.
Perbadaan utama adalah pada spatial dependent dan berat matriks.
Model
GSTAR orde p dan spasial orde λ1
λ2,..., λp, GSTAR
(p λ1 λ2,..., λp) dirumuskan sebagai
berikut (Borovkova, Lopuhaä and
Nurani,
2002):
(2.21)
di mana:
Pembobot dipilih sedemikian hingga dan
Sebagai contoh, model
GSTAR (11) untuk kasus produksi oli bulanan di 3 lokasi yang
berbeda, sebagai berikut:
(2.22)
atau
Pendugaan parameter model GSTAR
dilakukan menggunakan metode kuadrat terkecil dengan meminimumkan jumlah
kuadrat simpangannya.
2.4.5 Pendugaan Parameter Autoregresi untuk
GSTAR Orde 1
Mengingat model GSTAR (11)
didefinisikan pada persamaan (2.20), di mana :
untuk k = 0,1,…,dst
Apabila
t = 0, 1, …, T ; untuk lokasi ke-i = 1, 2, …, N lalu dengan (2.26)
Model persamaan untuk lokasi
ke-i dapat ditulis sebagai berikut
(2.27)
di mana
, , ,
Persamaan
model untuk semua lokasi secara serentak mengikuti struktur model linier , dengan , , dan .
Untuk
setiap lokasi ke-i = 1,2,…,N, didapatkan model parsialnya , di mana rata-rata untuk setiap pendugaan
kuadrat terkecil untuk βi dapat diperhitungkan secara terpisah. Bagaimanapun juga nilai pendugaan tergantung
pada nilai Z(t) pada lokasi yang
lain karena
Tujuan
secara teoritis, akan membawa ke beberapa struktur tambahan untuk memisahkan
bobot wij dari variabel acak Zi(t). Jika untuk setiap maka didefinisikan sebagai berikut:
(2.28)
Lalu
Xi dapat ditulis
, (2.29)
dan demikian
(2.30)
di
mana . merupakan matriks blok .
Disimpulkan bahwa pendugaan kuadrat terkecil
cukup baik pada persamaan umum dengan
X dan u dari penjelasan diatas.
Dapat menentukan secara khusus bahwa matriks X’X adalah nonsingular.
Dapat dilihat dari persamaan (2.30) mengikuti hal tersebut, yaitu:
di mana operator vec (.)
merupakan tumpukan kolom matriks. Hal ini dibatasi oleh perilaku yang sepenuhnya dipengaruhi oleh
2.4.6
Pemilihan Bobot Lokasi pada Model GSTAR
Permasalahan
yang sering terjadi pada pemodelan GSTAR adalah pemilihan atau penentuan bobot
lokasi. Menurut Suhartono dan Atok
(2006) terdapat beberapa cara untuk menentukan bobot lokasi pada aplikasi model
GSTAR yaitu:
Gambar
2.1 Contoh kasus untuk perhitungan bobot lokasi
a. Bobot
seragam (uniform)
Bobot
seragam dihitung dengan rumus dengan ni adalah jumlah lokasi yang
berdekatan dengan lokasi i. Bobot lokasi
digunakan untuk data yang lokasinya homogen atau mempunyai jarak antar lokasi
yang sama. Nilai bobot untuk ketiga
lokasi yang berbeda dari contoh lokasi pada gambar 2.1 dapat ditulis sebagai
berikut:
(2.38)
b. Bobot
inverse jarak
Nilai bobot invers jarak
didapatkan dari perhitungan berdasarkan jarak sebenarnya anatar lokasi. Lokasi
yang berdekatan mempunyai nilai bobot yang lebih besar.
2.4.7 Kriteria Pemilihan Model Terbaik
Pemilihan kriteria model terbaik
dapat dilihat melalui Akaike’s
Information Criterion (AIC) dan nilai Root Mean Squared Error (RMSE). Akaike’s Information Criterion (AIC)
digunakan pada in sample sedangkan Root Mean Squared Error (RMSE) digunakan
untuk out sample. Berikut akan
dijelaskan masing-masing kriteria pemilihan model terbaik.
a.
Akaike’s Information
Criteria (AIC)
Menentukan model terbaik dalam data
training yaitu menggunakan Akaike’s
Information Criteria (AIC). Pada
suatu model dikatakan baik apabila nilai AIC nya paling kecil. Berikut perhitungan nilai AIC (Lutkepohl,
2005) :
AIC
(p) = log det (2.39)
di
mana :
Log
adalah notasi logaritma natural
Det
(.) adalah notasi determinan
adalah matriks taksiran kovarian residual
dari model VAR (p)
b.
Root Mean Squared Error (RMSE)
Penaksiran
dengan nilai sebenarnya dari observasi disebut Root Mean Squared Error (RMSE).
Fungsi RMSE yaitu memperoleh gambaran tentang standar deviasi yang
muncul saat perbedaan antar model. Nilai RMSE diperoleh dari rumus sebagai
berikut :
(2.40)
di
mana: M adalah banyak ramalan yang dilakukan
BAB III. KERANGKA
KONSEP PENELITIAN
Time Series Univariate (Box-Jenkin,
1976)
ARIMA :
|
|||
BAB IV. METODE PENELITIAN
4.1 Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang di peroleh dari hasil pengamatan tim BMKG Stasiun
Klimatologi Karangploso Kabupaten
Malang. Data ini berupa data
pengamatan intensitas curah hujan dasa harian 3 lokasi pos hujan di Batu,
Poncokusumo dan Nongkojajar selama 20 tahun dari tahun 1990-2009.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Obyek penelitian adalah kawasan yang mewakili
daerah-daerah apel di wilayah Kabupaten Malang.
Gambar
3.1 . Peta situasi lokasi
penelitian
Wilayah-wilayah tersebut dipilih sebagai
lokasi penelitian dengan pertimbangan bahwa sebaran pertanaman apel di kabupaten Malang masih relatif luas pada berbagai varietas.
4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Untuk
mendapatkan data produksi apel dilakukan dengan mengambil data primer dan sekunder.
4.3.1 Tahapan
Pengumpulan Data
Gambar 3.2. Diagram
Alir Pengumpulan Data Produksi Apel
4.4. Analisis Data
Tahapan analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memeriksa data apakah stasioner atau tidak dengan cara
melihat plot ACF dan PACF. Apabila tidak stasioner dalam mean dilakukan differencing
2. Menentukan MACF, MPACF dan memilih model terbaik
dengan menggunakan AIC pada persamaan (2.39).
3. Menentukan orde VAR model GSTAR-I yang akan dipakai
untuk menentukan model di setiap lokasi pos hujan.
4. Analisis data menggunakan model GSTARI untuk
masing-masing bobot lokasi.
5. Mendapatkan model GSTARI tiap lokasi pos hujan untuk
masing-masing bobot lokasi.
6. Uji signifikasi parameter dan cek diagnosa kesesuaian
model
-
Evaluasi white noise
dari residual model GSTAR-I.
7. Melakukan forecast / peramalan curah hujan untuk 3
lokasi pos hujan dengan menggunakan model GSTARI.
8. Validasi model untuk data out sample (menggunakan RMSE)
9. Menyusun kesimpulan untuk menjawab permasalahan.
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Gambar
3.1 Diagram Alir Pembentukan Model GSTAR-I
4.5. Implementasi Prakiraan Iklim model GSTAR Untuk
Data Musiman
Implementasi
prakiraan iklim model GSTAR dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
Matlab atau R. Selanjutnya hasil prakiraan disajikan dalam bentuk peta
kesesuaian iklim untuk pertanaman apel.
DAFTAR PUSTAKA
Borovkova, S.A.; LopuhaTM, and Ruchjana,
B.N. 2002. Generalized S-TAR with Random Weights. Proceeding of the 17th
International Workshop on Statistical Modeling.
Chania-Greece.
Borovkova, S.A.; LopuhaTM, and Ruchjana,
B.N. 2002. The Space Time Autoregressive Models. Workshop on Space Time Models and Its
Applications. Bandung, 2-4 Agustus 2005.
Chiles, J.P., Pierre Delfiner. 1999.
Geostatistics. Modeling Spatial Uncertainty. A Wiley Interscience
Publication. John Wiley & Sons, Inc.
Fotheringham, A.S., Brunsdon C, Carlton
M. 2002.
Geographically Weighted Regression. John Wiley &
Sons, Ltd. England.
Hannan, E.J.
1970. Multiple Time Series. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Hanan
S. 1990.
The Design and Analysis of Spatial Data Structures. John Wiley and Sons, Inc. New York.
Ingragustari.
2005a. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan Transformasi Wavelet. Prosiding
Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan Validasi BMG. Hotel Nam
Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember 2005.
Ingragustari.
2005b. Prediksi Curah hujan dengan menggunakan ANFIS. Prosiding
Lokakarya Nasional Forum Prakiraan, Evaluasi dan Validasi BMG. Hotel Nam
Center Kemayoran Jakarta 15-16 Desember 2005.
Peragi
dan Perhimpi. 1994. Rumusan Panel Diskusi
Antisipasi Kekeringan Dan Penanggulangan Jangka Panjang. Dalam I. Las, N. Sinulingga, R. Boer,
Handoko, E. Syamsudin dan D. Sopandi (Editor). Prosiding Panel Diskusi
Antisipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang. Perhimpun-an
Agronomi Indonesia dan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia.
Pfeifer, P.E.
1979. Spatial Dynamic Modeling,
unpublished Ph.D Dissertation. Georgia
Institute of Technology. Georgia.
Pfeifer, P.E and Deutsch, S.J. 1980.
Stationarity and Invertibility Regions for Low Order STARMA Models. Communications in Statistics-Simulation and
Computation 9 (5). P. 551-562.
Ruchjana, B.N. et al. 1999.
The Study of the Location Weighted Matrix in the First Order Space-Time
Autoregressive Model. Proceeding of the SEAMS-GMU
International Conference on Mathematics and Its Application. Sri Wahyuni et
al., Editor. UGM. Yogyakarta. P. 408-417.
________,
2001. Study on the Weight Matrix
in the Space-Time Autoregressive Model.
Proceeding of the Tenth International Symposium on Applied Stochastic
Models and Data Analysis (ASMDA). Gerard
Govaert, et al. Editor. Universite de
Technologie Compiegne. Prancis. Vol. 2/2.
p. 789-794.
Setiawan. 1992.
Kajian tentang Seemingly Unrelated Regression (SUR) dan Penerapannya Pada model
Almost Ideal Demand System (AIDS). Thesis. IPB. Bogor.
Suhartono, Sutikno,
Otok, B.W., dan Setiawan. 2009.
Pengembangan model prakiraan iklim untuk pengendalian
ketahanan pangan. Laporan Penelitian Strategis ITS, Surabaya.
Zifwen.
1999. Peramalan ENSO dan Pemodelan Hubungan ENSO dengan Curah Hujan Monson.
Skripsi Jurusan Statistika FMIPA IPB, Bogor.
Wutsqa,
D.U., Suhartono and Sutijo, B. 2010. Generalized Space-Time Auto-regressive Modeling.
Proceedings of the 6th IMT-GT Conference on Mathematics, Statistics and its
Applications (ICMSA2010), Universiti Tunku Abdul Rahman, Kuala Lumpur,
Malaysia, pp. 752-761.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar