BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep kultur dan
struktur, sebagaimana telah ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya, memang
merupakan konsep yang sangat penting dalam memahami perilaku orang dalam masyarakat.
Namun bagaimana bentuk atau sifat pengaruh kultur dan atruktur itu terhadap
perilaku orang secara konkrit sangatlah sulit untuk ditandai dan dilihat.
Mengapa ?
Sebab, baik kebudayaan maupun struktur tersebut hakekatnya sangat abstrak. Maka pengaruhnya terhadap perilaku seseorang juga sangat subtil, dan oleh karenanya sangat sulit untuk ditandai dengan sangat konkrit. Bagaimana kebudayaan dan struktur mempengaruhi manusia adaalah merupakan proses yang panjang. Proses yang panjang itu disebut proses inkulturasi (untuk kebudayaannya) dan proses intrukturisasi (untuk strukturnya). Proses ini dialami manusia dari semenjak lahir higga akhir hayatnya. Dalam proses yang panjang itu, baik kultur maupun struktur diinternalisasikan (didarah-dagingkan) ke dalam diri orang seorang.
Sebab, baik kebudayaan maupun struktur tersebut hakekatnya sangat abstrak. Maka pengaruhnya terhadap perilaku seseorang juga sangat subtil, dan oleh karenanya sangat sulit untuk ditandai dengan sangat konkrit. Bagaimana kebudayaan dan struktur mempengaruhi manusia adaalah merupakan proses yang panjang. Proses yang panjang itu disebut proses inkulturasi (untuk kebudayaannya) dan proses intrukturisasi (untuk strukturnya). Proses ini dialami manusia dari semenjak lahir higga akhir hayatnya. Dalam proses yang panjang itu, baik kultur maupun struktur diinternalisasikan (didarah-dagingkan) ke dalam diri orang seorang.
Lembaga sosial (social institution) yang secara
ringkas diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan
untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam
masyarakat, merupakan wadah dan perujudan yang lebih konkrit dari kultur dan
struktur. Dalam suatu lembaga, setiap orang yang termasuk di dalamnya pasti
memiliki status dan peran tertentu. Status merupakan refleksi
struktur, sedangkan peran merupakan refleksi kultur. Dalam suatu keluarga,
status suami dilekati oleh peran tertentu yang sinkron dengan struktur maupun
kultur denagan masyarakat di mana keluarga itu berada. Misalnya, suami harus
berperan sebagai kepala keluarga dan berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga,
sedangkan isteri mengelola rumah tangga dan peran-peran domestik lainnya.
Lembaga merupakan fenomena yang sangat penting daalam
kehidupan masyarakat, bukan saja karena fungsinya untuk menjaga dan
mempertahankan nilai-nila yang sangat tinggi dalam masyarakat, melainkan juga
berkaitan erat dengan pencapaian pelbagai kebutuhan manusia. Maka ada yang
memahami lembaga sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan manusia. Terlepas
dari ketepatan artinya (yang akan diuraikan tersendiri dalam bagian berikutnya), lembaga sosial memiliki peranan yang sangat
vital dalam kehidupan masyarakat, termasuk
desa. Secara umum dalam suatu masyarakat, khususnya negara, lembaga-lembaga
yang sangat penting perannya dalam kehidupan masyarakat tersebut adalah lembaga
pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan keluarga. Namun, untuk buku
Sosiologi Pedesaan dan Pertanian ini, kupasan lembaga sosial ini akan lebih
banyak ditujukan pada lembaga pemerintahan
(pimpinan) desa serta yang terkait dengan itu. Sebab, untuk
masyarakat desa di Indonesia umumnya, lembaga pemerintahan ini memiliki peranan
yang penting.
1.2.Tujuan
·
Mengetahui
pengertian lembaga pemerintahan Desa
·
Mengetahui
peranan dan fungsi lembaga pemerintahan
Desa
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah lembaga sosial dalam ilmu-ilmu sosial umumnya,
dan dalam Sosiologi khususnya, merupakan terjemahan dari social institution.
Namun istilah ini bukan merupakan terjemahan satu-satunya. Koentjaraningrat,
menerjemahkannya dengan pranata sosial. Sedangkan Soerjono Soekanto
dalam bukunya “ Sosilogi, Suatu Pengantar “,
1986, menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan untuk istilah tersebut.
Ternyata, bukan saja istilahnya yang beragam, melainkan
juga pengertian yang terkandung di dalamnya. Malahan, dalam The International Encyclopedia of Sociology,
yang disunting oleh Michael Mann ( 1984 : 172 ) dijelaskan bahwa Sosiologi
telah lama dan sering berbicara tentang lembaga sosial, namun pengertiannya
kurang jelas dan beragam. Ada yang mengartikan lembaga sosial secara lebih
abstrak, yakni sebagai suatu kompleks nilai dan norma-norma tertentu. Di lain
pihak ada yang mengartikannya secara lebih konkrit daan longgar, yakni
menyangkut berbagai macam pola orgaanisasi atau kepentingan tertentu.
Pengertian yang kedua ini seringkali bertautan dengan konsep asosiasi. Namun
bagaimanapun beragamnya pengertian lembaga sosial, tentu terdapat pengertian
yang bersifat definitif.Berikut ini beberapa definisi mengenai lembaga sosial
yang mungkin akan memperjelas pengertian kita mengenai lembaga.
Menurut Paul B. Horto dan Chester L.
Hunt ( terjemahan, 1987 : 244 ), lembaga adalah suatu sistem norma untuk
mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting.
Menurut Soerjono Soekanto ( 1986:178 ), lembaga
kemasyarakatan adalah merupakan himpunan daripada norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1964:113 ), pranata sosial
adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan
yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi
kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
Dari ke tiga definisi di atas jelas tersirat suatu
pengertian bahwa lembaga itu adalah suatu sistem atau kompleks nilai dan norma.
Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan
atau tujuan tertentu. Sehingga, kompleks nilai dan norma yang ada pada pelbagai
lembaga menjadi berbeda pula seiring dengan perbedaan kepentingan yang akan
dicapai lewat lembaga-lembaga tersebut. Namun, apabila berbicara tentang
pencapaian kepentingannya itu sendiri, maka kita lebih berhubungan dengan konsep
asosiasi, bukan lembaga.
Perbedaan lembaga dengan asosiasi dapat diibaratkan
dengan keterkaitan antara rule of game dan orang-orang yang terlibat
dalam suatu pertandingan. Rule of game pertandingan sepakbola
adalah lembaga, sedangkan para pemain sepakbola yang sedang bertanding adalah
asosiasi. Pendapat L. Broom dan Ph. Selznick (1997 ) dapat menolong kita untuk
lebih memahami perbedaan dua konsep itu. Menurut mereka, sebuah asosiasi
melayani kepentingan umum bukan hanya pribadi, dan jika hal ini dilakukan
secara teratur, tetap dan diterima oleh umum, maka asosiasi tersebut telah
menjadi lembaga.
Lembaga sosial memiliki beberapa
karakteristik yang terlekat padanya. Beberapa diantaranya adalah : tiap lembaga
mempunyai tujuan utama, relative permanen, memiliki nilai-nilai pokok yang
bersumber dari para anggotanya, dan pelbagai lembaga dalam suatu masyarakat
memiliki keterkaitan satu sama lain
( periksa Bruce
J. Cohen, terjemaahan Bina Aksara, 1983 ).
Menyangkut proses keberadaannya,
lembaga bisa diciptakan dengan sengaja seperti yang terjadi pada sebuah
organisasi, disamping ada yang tercipta secara tidak sengaja.
Contoh dari jenis pertama misalnya lembaga hutang-piutang, lembaga pendidikan,
dan lainnya. Jenis ke dua umumnya merupakan lembaga-lembaga yang tumbuh dari
adat-istiadat, seperti kepercayaan, perkawinan, dan lainnya. Untuk masyarakat
desa yang masih bersahaja, keberadaan dan peran dari lembaga yang ke dua
tersebut sangat penting. Proses pembentukannya yang lama dan topangan
adat-istiadat yang menjadi akar keberadaannya mengakibatkan sangat kuat dan
besarnya pengaruh lembaga ini terhadap perilaku masyarakat desa. Lembaga
semacanm ini umumnya sulit berubah. Proses pembaharuan atau modernisasi
seringkali berhadapan dengan lembaga-lembaga semacam ini, sekalipun tidak
semuanya bersifat menghambat pembaharuan/pembangunan.
Hal lai yang penting untuk diketahui
adalah kenyataan bahwa lembaga sosial bukan merupakan fenomena yang statis.
Lembaga berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Mengingat fungsinya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tertentu anggota
masyarakat, maka dinamikanya juga ditentukan oleh proses dan pola perubahan
yang terjadi. Sebab, perubahan atau perkembangan cenderung mengakibatkan
munculnya kebutuhan-kebutuhan baru. Dan tututan terhadap pemenuhan kebutuhan
baru tersebut belum tentu dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga lama. Maka,
denagn sendiri situasi ini juga menuntut hadirnya lembaga-lembaga baru yang
mampu melayani tercapainya kebutuhan baru itu.
LEMBAGA
PEMERINTAH ATAU PIMPINAN DESA
Seberapa jauh pentingnya lembaga
pemerintahan dan/atau pimpinan pada desa-desa di Indonesia? Mengenai hal ini
pertama-tama perlu disadari bahwa mengingat keberagaman (kebinekaan) yang ada
dalam negara kita, besarnya peranan lembaga pemerintahan atau pimpinan itu
tidaklah sama pada semua desa. Untuk desa-desa yang didasarkan atas ikatan genealogis
(hubungan darah) keadaannya berbeda dengan yang didasarkan atas ikatan
daerah. Untuk tipe yang pertama, yang umumnya terdapat dipelbagai daerah di
luar Jawa, peranan pimpinan desa sebenarnya tidak terlalu besar dibanding
dengan desa-desa tipe ke dua. Untuk desa-desa tipe pertama ini, sistem
kekerabatan dengan aturan-aturan adat-istiadat yang berkaitan dengan itu sangat
besar peranannya sehingga perana pimpinan desa sebenarnya hanya merupakan
bagian atau instrumen saja dari sistem kekerabatan dan dat-istiadat tersebut.
Maka untuk tipe desa-desa geneaalogis semacam ini, pimpinan desa harus tunduk
kepada peraturan adat yang ada. Apabila menyimpang darui peraturan adat, maka
kepemimpinannya tidak akan diakui oleh masyarakat. Dengan demikian dia tidak
bisa ditafsirkan sebagai puncak kekuasaan (single interpreter atau poly morphic
leader). Hal ini berbeda dengan tipe desa ke dua, yang umum terdapat di Jawa.
Adat-istiadat di desa-desa di Jawa umumnya berlandaskan pada kepentingan yang
sama atas daerah tertentu, bukan terutama didasarkan pada hubungan darah.
Denagn demikian ikatannya tidak terlalu kuat seperti di desa-desa luar Jawa umumnya.
Kepala desa tidak ditetapkan berdasar atas hukum adat, melainkan didasarkan
atas sistem pemilihan yang telah sejak lama dikenal. Sekalipun telah sejak lama
juga kepala-kepala desa di Jawa merupakan bagian dari kekuasaan negara/
kerajaan (terutama di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan suatu
kerajaan), namun mereka masih dapat memainkan perannya secara lebih otonom dan
individual dibanding dengan kepala-kepala desa di luar Jawa.
Terlepas dari perbedaan besar
kecilnya kekuasaan yang dimiliki pimpinan desa di Jawa dibanding dengan di luar
Jawa, namun ketika negara Indonesia ini belum lahir, perana pimpinan desa
secara umum sangat besar. Hal ini mudah dimengerti, karena sebelum negara ini
terbentuk umumnya desa-desa di persada Nusantara ini hidup sendiri, seolah
sebuah negara kecil. Kerajaan-kerajaan yang ada pada waktu itu karena tidak
memiliki instrumen yang cukup memadai (perangkat keras- teknologi, maupun
perangkat lunak- sistem administrasi/birokrasi), maka pengaruh dan perannya di desa tidak begitu terasa. Beberapa
desa tersebut bahkan sama sekali terlepas dari pengaruh suatu kekuasaan,
seperti misalnya para peladang berpindah dan desa-desa di pedalaman (Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya).
Latar belakang sejarah desa-desa di
Indonesia semacam itu dengan sendiri memiliki pengaruh yang sangat besar
terhadap lembaga pemerintahan desa sekarang ini. Ketika negara Indonesia lahir,
lembaga pemerintahan/pimpinan desa-desa di Indonesia yang asli semakin kehilangan tempat berpijak.
Keberadaannya yang bersifat lokal berlandaskan hukum adat atau tradisi secara
cepat atau lambat digantikan oleh lembaga pemerintahan baru yang bersifat
nasional berlandas kan peraturan perundangan formal. Untu desa-desa yang hukum
adat atau tradisinya kuat, pergantian lembaga ini tidak berjalan lancar. Oleh
kuatnya adat-istiadat yang berlaku, seringkali terjadi semacam dualisme
pimpinan desa, yakni pimpinan adat dan pimpinan formal. Di Bali misalnya,
dualisme ini tercermin pada dua sebutan desa (dengan pimpinannya) yakni’’desa adat’’ untuk desa asli
yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan ‘’desa dinas’’ untuk desa yang
didasarkan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979.
Secara umum, terutama dilihat dari
latar belakang sejarahnya, desa-desa di Jawa dan di luar Jawa memang berbeda.
Perbedaannya bukan hanya oleh perbedaan dasar integrasinya, yakni di Jawa
berdasarkan ikatan daerah dan luar Jawa berdasarkan ikatan darah, melainkan
juga oleh perbedaan intensitas dan lama waktu intervensi kekuasaan luar desa
(supra desa) terhadap desa-desa tersebut. Dapat disimpulkan secara umum, bahwa
desa-desa di Jawa telah mengalami intervensi kekuasaan supra desa yang lebih
lama dan intensif dibandang dengan desa-desa di luar Jawa umumnya. Intensitas
atau besar kecilnya pengaruh supra desa ini tidak terlepas dari kuat lemahnya
atau besar kecilnya pusat kekuasaan yang ada. Di Jawa, semenjak jaaman sejarah
(zaman Hindu maupun Islam) telah dikenal adanya kerajaan-kerajaan yang besar
yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar pula terhadap desa-desa yang
ada di dalam wilayah kekuasannya. Di luar Jawa, umumnya tidak terdapat
kerajaan-kerajaan yang besar pengaruhnya terhadap daerah pedesaan seperti Jawa.
Kalaupun terdapat kerajaan-kerajaan besar di luar Jawa, namun umumnya adalah
kerajaan pantai yang hidup dari kegiatan perdagangan dengan luar daerah/negeri,
sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap desa-desa sekitar. Oleh keadaan
yang demikian, ditambah dengan masih rendahnyaa tingkat teknologi sertaa
beraatnya kondisi geografis masa itu, maka banyak desa-desa luar Jawa yang
terisolasi, kecil, dan hanya merupakan suatu keluarga meluas (extended family).
Kecuali hidup dalam rumah adat bersama-sama, kehidupan mereka secara
keseluruhan diatur oleh sistem kekerabatan. Untuk desa-desa semacam ini
hakekatnya belum memiliki lembaga pemerintahan. Secara umum, intervensi
kekuatan supra desa di desa-desa luar Jawa, baik yang telah memiliki lambaga
pemerintahan maupun yang tidak, dapat disimpulkan lebih kecil daripada
desa-desa di Jawa. Sehingga, desa-desa tersebut masih memiliki adat-istiadat
atau tradisi yang kuat.
Di Jawa rusaknya tradisi
(detradisionalisasi) asli desa tidak saja disebabkan oleh intervensi kekuasaan
kerajaan (kerato), melainkan
juga terlebih oleh intervensi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, terutama
sejak jaman cultuurstelsel. Cultuurstelsel ini hakekatnya merupakan
pengembangan landrent yang diciptakan oleh Gubernur Rafffles (Inggris). Mengapa
perhatian mereka terhadap daerah pedesaan sangat besar? Intinya adalah berdasarkan
atas pemikiran dan pemahaman bahwa Jawa adala merupakan daerah agraris.
Mayoritas rakyatnya hidup dari pertanian. Maka apabila ingin mendapatkaan
keuntungan yang besar dari masyarakat ini, mereka harus memperolehnya dari
petani itu. Namun dalam kenyaataannya, kaum ini tidak memiliki lahan pertanian
yang cukup karena adanya sistem feodalisme. Oleh karena itu, agar memperoleh
keuntungan sebagaimana yang mereka harapkan,desa dengan kaum petaninya harus
diperkuat kedudukannya. Ini berarti bahwa petani harus cukup memiliki lahan
pertanian, dan desanya juga harus lebih otonom tidak terlalu dikuasai dan
dikendalikan oleh kekuatan luar (kerajaan). Untuk mewujudkan strateginya itu,
setidak-tidaknya ditempuh dua tindakan. Pertama, hubungan langsung dengan desa
(beserta sejumlah peran) yang dimiliki Bupati digantikan oleh pemerintah
Belanda. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Bupati tersebut masih
dipergunakan, sehingga peraturan-peraturan dari pemerintah kolonial Belanda
tidak mendapat tentangan dari Bupati. Secara demikian Belanda dapat memasukkan
atau bahkan memaksakan progaram kegiatan tertentu ke desa-desa. Ke dua, belanda
mengupayakan desa memiliki kedudukan yang lebih kuat dan otonom, sehingga
secara demikian mereka telah menciptakan prasarana bagi tercapainya tujuan
mereka. Ujud konkrit dari tindakan itu adalah dengan ditetapkannya
peraturan-peraturan. Peraturan formaal ini bahkan telah diletakkan landasannya
pada masa kekuasaan Raffles, yakni dengan ditetapkannya Revenue Instruction (11
Februari, 1814) yang antara lain mengatur hal pertanahan, kedudukan penguasa
umumnya (terutama dalam bidang kepolisian). Dalam jaman pemerintahan kolonial
Belanda, peraturan penting yang mereka buat untuk desa setelah Raffles
menyerahkan kekuasaannya adalah Regering Reglement (RR) tahun 1854. RR ini
antara lain menetapkan bahwa desa berhak memilih kepala desanya sendiri dan
kepala desa ini diserahi untuk mengatur rumah tangga desa dengan memperhatikan
peraturan-peraturan di atas (Residen).
Peraturan-peraturan tentang desa
yang tercantum dalam RR 1854 ini masih dipandang kurang memberikan landasan
yang cukup kuat dalam usaha untuk menguasai desa. Maka pada tahun 1906
dikeluarkanlah peraturan yang mengatur pemerintahan dan rumah tangga desa.
Perturan ini disebut Inlandsche Gemeente Ordonaaaantie ( IGO ), yang dimuat
dalm Staatsblad 1906 Nomoor 83. IGO ini hanya berlaku di Jawa dan Madura saja.
Untuk luar Jawa peraturan serupa itu baru dikeluarkan pada tahun 1938, yakni
Inlandsche Gemeente Ordonantie voor de Buiteng Westen (IGOB). IGOB dimuat dalam
Staatsblad 1938 Nomor 490.
Terdapat sejumlah pendapat mengenai
IGO dan IGOB tersebut, baik yang pro maupun yang kontra. Dari pihak Belanda
sendiri, ada sejumlah tokoh yang pro maupun yang kontra. Yang pro antara lain
adalah van Deventer. Menurut tokoh ini dengan adanya IGO dan IGOB maka desa
telah diberi dasar hukum untuk menguasai milik desa sendiri. Namun menurut van
Vollenhoven dan van Boclcel, IGO dan IGOB kurang memperhatikan sifat-sifat asli
dari desa-desa dan merupakan paksaan untuk menggunakan peraturan-peraturan yang
bersifat barat. Sekalipun setelah itu diciptakan juga ordonaantie baru, yakni
yang dimuat dalam Staatblad 1941 Nomor 536, yang bermaksud memberikan kebebasan
berkembang bagi desa-desa, namun sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda
tidak sempat dinyatakan berlakunya.
Setelah jaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia berusaha segera mengganti
peraturan- peraturan kolonial tersebut . Untuk itu pada tahun 1948
ditetapkanlah Undang –Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah , yakni Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1948, Undang –
Undang ini mengatur pembagian daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri. Desa menurut Undang –Undang ini adalah merupakan daerah
tingkat tiga yang harus mempunyai otonomi tersendiri yang diatur dengan undang-
undang. Karena pelbagai kesulitan , desa otonomi menurut Undang –Undang Nomor
22 Tahun 1948 ini tidak pernah terbentuk.
Untuk mengusahakan agar terbentuk
desa otonom, maka pemerintah membentuk sebuah Komaisariat Urusan Daerah Otonom
yang diketuai oleh Sutardjo Kartohadikoesoemo. Komisariat ini juga masih
menghadapi kesulitan dalam usaha membentuk Daerah Otonom Tingkat III. Kemudian
dibentuk Undang-Undang Nomor I Tahun 1957 tentang Pokok- pokok Pemerintahan
Daerah yang menggantikan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948. Walaupun Undang
–Undang Nomor I Tahun 1957 ini telah delapan tahun diperlakukan , namun Daerah
Tingkat III tetap belum terbentuk. Usaha lebih lanjut unutk merealisasi
terbentuknya Daerah Tingkat III adalah dengan ditetapkannya Undang- Undang Nomor
18 Tahun 1965 tentang pokok–pokok
Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Undang –Undang Nomor 19 Tahun
1965 yangt bermaksud menggantikan peraturan-peraturan yang bersifat kolonial
tidak sempat berlaku karena dikeluarkannya perintah untuk menunda berlakunya.
Undang–Undang tersebut, selama Undang-undang baru tentang
Pemerintahan desa belum terbentuk, maka peraturan lama yang mengatur hal itu
tetap berlaku.
Ini berarti bahwa IGO, IGOB, dan peraturan–peraturan
lainnya masih dipergunakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan desa, yakni selama
peraturan–perundangan yang menggantikannya belum ditetapkan.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pengertian
Lembaga Pemerintahan Desa
Di Desa
dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan, yakni lembaga yang dibentuk oleh
masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam
memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan Peraturan
Desa. Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan
penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Hubungan kerja antara lembaga
kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersifat kemitraan, konsultatif dan
koordinatif.
Menurut Paul B. Horto dan Chester L. Hunt
( terjemahan, 1987 : 244 ), lembaga adalah suatu sistem norma untuk mencapai
tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting.
Menurut Soerjono Soekanto ( 1986:178 ), lembaga
kemasyarakatan adalah merupakan himpunan daripada norma-norma dari segala
tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Koentjaraningrat (1964:113 ), pranata sosial
adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan
yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
Dari ke tiga definisi di atas jelas tersirat suatu
pengertian bahwa lembaga itu adalah suatu sistem atau kompleks nilai dan norma.
Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan
atau tujuan tertentu. Sehingga, kompleks nilai dan norma yang ada pada pelbagai
lembaga menjadi berbeda pula seiring dengan perbedaan kepentingan yang akan
dicapai lewat lembaga-lembaga tersebut. Namun, apabila berbicara tentang
pencapaian kepentingannya itu sendiri, maka kita lebih berhubungan dengan
konsep asosiasi, bukan lembaga.
Desa
menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di
area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di
Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala
Desa, sedangkan di Nias
disebut Salawa dengan istilah desa sebagai banua/kampung.
Kepala Desa atau Salawa merupakan pimpinan penyelenggaraan
pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan
Permusyawaratan Desa
(BPD).
Adapun
yang menjadi ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain sebagai berikut:
·
Di
dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih
mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar
batas-batas wilayahnya.
·
Sistem
kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau
paguyuban).
·
Sebagian
besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang
bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yang biasanya sebagai
pengisi waktu luang.
·
Masyarakat
tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencarian, agama, adat-istiadat dan
sebagainya.
3.2.
Peran dan fungsi Lembaga Pemerintahan Desa
Tugas Lembaga
Kemasyarakatan Desa meliputi:
·
Menyusun rencana pembangunan secara
partisipatif.
·
Melaksanakan, mengendalikan,
memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan pembangunan secara partisipatif.
·
Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi,
gotong royong, dan swadaya masyarakat.
·
Menumbuhkembangkan kondisi dinamis
masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Lembaga
Kemasyarakatan Desa mempunyai fungsi:
·
Penampungan dan penyaluran aspirasi
masyarakat dalam pembangunan.
·
Penanaman dan pemupukan rasa persatuan
dan kesatuan masyarakat dalam kerangka. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·
Peningkatan kualitas dan percepatan
pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
·
Penyusunan rencana, pelaksana,
pengendali, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara
partisipatif.
·
Penumbuhkembangan dan penggerak
prakarsa, partisipasi serta swadaya gotong royong masyarakat.
·
Pemberdayaan dan peningkatan
kesejahteraan keluarga.
·
Pemberdayaan hak politik masyarakat.
Lembaga Kemasyarakatan Desa sebagai
pelaku ditingkat desa memainkan peran yang sangat penting dalam mewujudkan Tata
Kelola Pemerintahan Desa yang baik. Beberapa
peran yang harus dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan Desa dalam mewujudkan
Tata Kelola Pemerintahan Desa yang baik antara lain:
·
Mengorganisasikan partisipasi
masyarakat.
·
Menguatkan kontrol publik.
·
Menjalin kemitraan dengan pemerintah
desa.
3.3. Kasus
Contoh
:
·
Disuatu
Desa ada bantuan bibit karet, dalam hal ini terjadi pembagian yang tidak tepat
sasaran, ada kelompok tani yang dapat namun ada juga yang tidak dapat bantuan
dengan merata. Disini peran GAPOTAN belum optimal karena sistem gapotan
tersebut bersifat nepotisme.
·
Sejalan dengan semakin
merasuknya sistem ekonomi uang di tengah kehidupan masyarakat desa disamping
perubahan-perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh peranan media massa (era
globalisasi), maka lembaga gotong royong telah mengalami perubahan dan
pergeseran-pergeseran.
·
Pemilihan
Kepala-kepala Dusun
Dimana
pada saat proses pemilihan kadus masih ada Desa yang didasarkan atas ikatan genealogis (hubungan darah) ini biasanya
bagi Desa yang terdapat di luar Jawa, khususnya bagi Desa yang masih menganut
pemilihan kadus berdasarkan hubungan darah ini, biasanya sistem kekerabatan
dengan aturan adat-istiadat yang sangat besar perananya.Sehingga peranan
pemilihan kadus sebenarnya hanya merupakan bagian atau instrument saja dari
sistem kekerabatan dan adat istiadat tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Heru, dkk. 2005. Konflik
Elite Politik di Pedesaan. Yogya: Pustaka Pelajar.
Cahyono, Heru.1999. Dinamika
Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca Jakarta:
LIPI.
Chabal, Patrick, and Jean Pascal-Daloz.
2006. Culture Troubles, Politics and The Interpretation of Meaning, (London: Hurst & Co).
Collin, P.H. 2004. Dictionary of Politics and Government. London:
Bloomsbury.
Hidayat, Syarif. 2000. Refleksi
Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan. Jakarta: Pustaka Quantum.
Rahardjo. 1999. Pengantar
Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Reid, Anthony. 2006. Verandah of
Violence, the Background to the Aceh Problem. Singapore: NUS
Publishing.
Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M.
Prijono. 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa. Jakarta:
Penerbit Sinar Harapan.
''Lembaga
Pemerintahan dan Pimpinan Desa''
OLEH:
KELAS : B
KELOMPOK : 1
NAMA ANGGOTA :
1.
DEVI LIANA D1A011033
2.
INRA SITUMORANG D1A011034
3.
AHMAD JANUARI D1A011035
4.
RAMADHANO D1A011036
5.
YENNI ZUNNIZA D1A011037
FAKULTAS PERTANIAN
AGROEKOTEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2012/2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar