Senin, 07 Januari 2013

KELEMBAGAAN DI DESA


BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
            Konsep kultur dan struktur, sebagaimana telah ditunjukkan dalam bab-bab sebelumnya, memang merupakan konsep yang sangat penting dalam memahami perilaku orang dalam masyarakat. Namun bagaimana bentuk atau sifat pengaruh kultur dan atruktur itu terhadap perilaku orang secara konkrit sangatlah sulit untuk ditandai dan dilihat. Mengapa ?
Sebab, baik kebudayaan maupun struktur tersebut hakekatnya sangat abstrak. Maka pengaruhnya terhadap perilaku seseorang juga sangat subtil, dan oleh karenanya sangat sulit untuk ditandai dengan sangat konkrit. Bagaimana kebudayaan dan struktur mempengaruhi manusia adaalah merupakan proses yang panjang. Proses yang panjang itu disebut proses inkulturasi (untuk kebudayaannya) dan proses intrukturisasi (untuk strukturnya). Proses ini dialami manusia dari semenjak lahir higga akhir hayatnya. Dalam proses yang panjang itu, baik kultur maupun struktur diinternalisasikan  (didarah-dagingkan) ke dalam diri orang seorang.
            Lembaga sosial (social institution) yang secara ringkas diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat, merupakan wadah dan perujudan yang lebih konkrit dari kultur dan struktur. Dalam suatu lembaga, setiap orang yang termasuk di dalamnya pasti memiliki status dan peran tertentu. Status merupakan refleksi struktur, sedangkan peran merupakan refleksi kultur. Dalam suatu keluarga, status suami dilekati oleh peran tertentu yang sinkron dengan struktur maupun kultur denagan masyarakat di mana keluarga itu berada. Misalnya, suami harus berperan sebagai kepala keluarga dan berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan isteri mengelola rumah tangga dan peran-peran domestik lainnya.
            Lembaga merupakan fenomena yang sangat penting daalam kehidupan masyarakat, bukan saja karena fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan nilai-nila yang sangat tinggi dalam masyarakat, melainkan juga berkaitan erat dengan pencapaian pelbagai kebutuhan manusia. Maka ada yang memahami lembaga sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan manusia. Terlepas dari ketepatan artinya (yang akan diuraikan tersendiri dalam bagian berikutnya), lembaga sosial memiliki peranan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat, termasuk desa. Secara umum dalam suatu masyarakat, khususnya negara, lembaga-lembaga yang sangat penting perannya dalam kehidupan masyarakat tersebut adalah lembaga pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, dan keluarga. Namun, untuk buku Sosiologi Pedesaan dan Pertanian ini, kupasan lembaga sosial ini akan lebih banyak ditujukan pada lembaga pemerintahan (pimpinan) desa serta yang terkait dengan itu. Sebab, untuk masyarakat desa di Indonesia umumnya, lembaga pemerintahan ini memiliki peranan yang penting.


1.2.Tujuan
·         Mengetahui pengertian lembaga pemerintahan Desa
·         Mengetahui peranan dan fungsi  lembaga pemerintahan Desa





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

            Istilah lembaga sosial dalam ilmu-ilmu sosial umumnya, dan dalam Sosiologi khususnya, merupakan terjemahan dari social institution. Namun istilah ini bukan merupakan terjemahan satu-satunya. Koentjaraningrat, menerjemahkannya dengan pranata sosial. Sedangkan Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosilogi, Suatu Pengantar , 1986, menggunakan istilah lembaga kemasyarakatan untuk istilah tersebut.
            Ternyata, bukan saja istilahnya yang beragam, melainkan juga pengertian yang terkandung di dalamnya. Malahan, dalam  The International Encyclopedia of Sociology, yang disunting oleh Michael Mann ( 1984 : 172 ) dijelaskan bahwa Sosiologi telah lama dan sering berbicara tentang lembaga sosial, namun pengertiannya kurang jelas dan beragam. Ada yang mengartikan lembaga sosial secara lebih abstrak, yakni sebagai suatu kompleks nilai dan norma-norma tertentu. Di lain pihak ada yang mengartikannya secara lebih konkrit daan longgar, yakni menyangkut berbagai macam pola orgaanisasi atau kepentingan tertentu. Pengertian yang kedua ini seringkali bertautan dengan konsep asosiasi. Namun bagaimanapun beragamnya pengertian lembaga sosial, tentu terdapat pengertian yang bersifat definitif.Berikut ini beberapa definisi mengenai lembaga sosial yang mungkin akan memperjelas pengertian kita mengenai lembaga.
            Menurut Paul B. Horto dan Chester L. Hunt ( terjemahan, 1987 : 244 ), lembaga adalah suatu sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting.
            Menurut Soerjono Soekanto ( 1986:178 ), lembaga kemasyarakatan adalah merupakan himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
            Menurut Koentjaraningrat (1964:113 ), pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan  yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
            Dari ke tiga definisi di atas jelas tersirat suatu pengertian bahwa lembaga itu adalah suatu sistem atau kompleks nilai dan norma. Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan atau tujuan tertentu. Sehingga, kompleks nilai dan norma yang ada pada pelbagai lembaga menjadi berbeda pula seiring dengan perbedaan kepentingan yang akan dicapai lewat lembaga-lembaga tersebut. Namun, apabila berbicara tentang pencapaian kepentingannya itu sendiri, maka kita lebih berhubungan dengan konsep asosiasi, bukan lembaga.
            Perbedaan lembaga dengan asosiasi dapat diibaratkan dengan keterkaitan antara rule of game dan orang-orang yang terlibat dalam suatu pertandingan. Rule of game pertandingan sepakbola adalah lembaga, sedangkan para pemain sepakbola yang sedang bertanding adalah asosiasi. Pendapat L. Broom dan Ph. Selznick (1997 ) dapat menolong kita untuk lebih memahami perbedaan dua konsep itu. Menurut mereka, sebuah asosiasi melayani kepentingan umum bukan hanya pribadi, dan jika hal ini dilakukan secara teratur, tetap dan diterima oleh umum, maka asosiasi tersebut telah menjadi lembaga. 
            Lembaga sosial memiliki beberapa karakteristik yang terlekat padanya. Beberapa diantaranya adalah : tiap lembaga mempunyai tujuan utama, relative permanen, memiliki nilai-nilai pokok yang bersumber dari para anggotanya, dan pelbagai lembaga dalam suatu masyarakat memiliki keterkaitan satu sama lain
( periksa Bruce J. Cohen, terjemaahan Bina Aksara, 1983 ).
            Menyangkut proses keberadaannya, lembaga bisa diciptakan dengan sengaja seperti yang terjadi pada sebuah organisasi, disamping ada yang tercipta secara tidak sengaja. Contoh dari jenis pertama misalnya lembaga hutang-piutang, lembaga pendidikan, dan lainnya. Jenis ke dua umumnya merupakan lembaga-lembaga yang tumbuh dari adat-istiadat, seperti kepercayaan, perkawinan, dan lainnya. Untuk masyarakat desa yang masih bersahaja, keberadaan dan peran dari lembaga yang ke dua tersebut sangat penting. Proses pembentukannya yang lama dan topangan adat-istiadat yang menjadi akar keberadaannya mengakibatkan sangat kuat dan besarnya pengaruh lembaga ini terhadap perilaku masyarakat desa. Lembaga semacanm ini umumnya sulit berubah. Proses pembaharuan atau modernisasi seringkali berhadapan dengan lembaga-lembaga semacam ini, sekalipun tidak semuanya bersifat menghambat pembaharuan/pembangunan.
            Hal lai yang penting untuk diketahui adalah kenyataan bahwa lembaga sosial bukan merupakan fenomena yang statis. Lembaga berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Mengingat fungsinya yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan tertentu anggota masyarakat, maka dinamikanya juga ditentukan oleh proses dan pola perubahan yang terjadi. Sebab, perubahan atau perkembangan cenderung mengakibatkan munculnya kebutuhan-kebutuhan baru. Dan tututan terhadap pemenuhan kebutuhan baru tersebut belum tentu dapat dipenuhi oleh lembaga-lembaga lama. Maka, denagn sendiri situasi ini juga menuntut hadirnya lembaga-lembaga baru yang mampu melayani tercapainya kebutuhan baru itu.

LEMBAGA PEMERINTAH ATAU PIMPINAN DESA
            Seberapa jauh pentingnya lembaga pemerintahan dan/atau pimpinan pada desa-desa di Indonesia? Mengenai hal ini pertama-tama perlu disadari bahwa mengingat keberagaman (kebinekaan) yang ada dalam negara kita, besarnya peranan lembaga pemerintahan atau pimpinan itu tidaklah sama pada semua desa. Untuk desa-desa yang didasarkan atas ikatan genealogis (hubungan darah) keadaannya berbeda dengan yang didasarkan atas ikatan daerah. Untuk tipe yang pertama, yang umumnya terdapat dipelbagai daerah di luar Jawa, peranan pimpinan desa sebenarnya tidak terlalu besar dibanding dengan desa-desa tipe ke dua. Untuk desa-desa tipe pertama ini, sistem kekerabatan dengan aturan-aturan adat-istiadat yang berkaitan dengan itu sangat besar peranannya sehingga perana pimpinan desa sebenarnya hanya merupakan bagian atau instrumen saja dari sistem kekerabatan dan dat-istiadat tersebut. Maka untuk tipe desa-desa geneaalogis semacam ini, pimpinan desa harus tunduk kepada peraturan adat yang ada. Apabila menyimpang darui peraturan adat, maka kepemimpinannya tidak akan diakui oleh masyarakat. Dengan demikian dia tidak bisa ditafsirkan sebagai puncak kekuasaan (single interpreter atau poly morphic leader). Hal ini berbeda dengan tipe desa ke dua, yang umum terdapat di Jawa. Adat-istiadat di desa-desa di Jawa umumnya berlandaskan pada kepentingan yang sama atas daerah tertentu, bukan terutama didasarkan pada hubungan darah. Denagn demikian ikatannya tidak terlalu kuat seperti di desa-desa luar Jawa umumnya. Kepala desa tidak ditetapkan berdasar atas hukum adat, melainkan didasarkan atas sistem pemilihan yang telah sejak lama dikenal. Sekalipun telah sejak lama juga kepala-kepala desa di Jawa merupakan bagian dari kekuasaan negara/ kerajaan (terutama di daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan suatu kerajaan), namun mereka masih dapat memainkan perannya secara lebih otonom dan individual dibanding dengan kepala-kepala desa di luar Jawa.
            Terlepas dari perbedaan besar kecilnya kekuasaan yang dimiliki pimpinan desa di Jawa dibanding dengan di luar Jawa, namun ketika negara Indonesia ini belum lahir, perana pimpinan desa secara umum sangat besar. Hal ini mudah dimengerti, karena sebelum negara ini terbentuk umumnya desa-desa di persada Nusantara ini hidup sendiri, seolah sebuah negara kecil. Kerajaan-kerajaan yang ada pada waktu itu karena tidak memiliki instrumen yang cukup memadai (perangkat keras- teknologi, maupun perangkat lunak- sistem administrasi/birokrasi), maka pengaruh dan perannya di desa tidak begitu terasa. Beberapa desa tersebut bahkan sama sekali terlepas dari pengaruh suatu kekuasaan, seperti misalnya para peladang berpindah dan desa-desa di pedalaman (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya).
            Latar belakang sejarah desa-desa di Indonesia semacam itu dengan sendiri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap lembaga pemerintahan desa sekarang ini. Ketika negara Indonesia lahir, lembaga pemerintahan/pimpinan desa-desa di Indonesia yang asli semakin kehilangan tempat berpijak. Keberadaannya yang bersifat lokal berlandaskan hukum adat atau tradisi secara cepat atau lambat digantikan oleh lembaga pemerintahan baru yang bersifat nasional berlandas kan peraturan perundangan formal. Untu desa-desa yang hukum adat atau tradisinya kuat, pergantian lembaga ini tidak berjalan lancar. Oleh kuatnya adat-istiadat yang berlaku, seringkali terjadi semacam dualisme pimpinan desa, yakni pimpinan adat dan pimpinan formal. Di Bali misalnya, dualisme ini tercermin pada dua sebutan desa (dengan pimpinannya) yakni’’desa adat’’ untuk desa asli yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan ‘’desa dinas’’ untuk desa yang didasarkan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979.
            Secara umum, terutama dilihat dari latar belakang sejarahnya, desa-desa di Jawa dan di luar Jawa memang berbeda. Perbedaannya bukan hanya oleh perbedaan dasar integrasinya, yakni di Jawa berdasarkan ikatan daerah dan luar Jawa berdasarkan ikatan darah, melainkan juga oleh perbedaan intensitas dan lama waktu intervensi kekuasaan luar desa (supra desa) terhadap desa-desa tersebut. Dapat disimpulkan secara umum, bahwa desa-desa di Jawa telah mengalami intervensi kekuasaan supra desa yang lebih lama dan intensif dibandang dengan desa-desa di luar Jawa umumnya. Intensitas atau besar kecilnya pengaruh supra desa ini tidak terlepas dari kuat lemahnya atau besar kecilnya pusat kekuasaan yang ada. Di Jawa, semenjak jaaman sejarah (zaman Hindu maupun Islam) telah dikenal adanya kerajaan-kerajaan yang besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar pula terhadap desa-desa yang ada di dalam wilayah kekuasannya. Di luar Jawa, umumnya tidak terdapat kerajaan-kerajaan yang besar pengaruhnya terhadap daerah pedesaan seperti Jawa. Kalaupun terdapat kerajaan-kerajaan besar di luar Jawa, namun umumnya adalah kerajaan pantai yang hidup dari kegiatan perdagangan dengan luar daerah/negeri, sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap desa-desa sekitar. Oleh keadaan yang demikian, ditambah dengan masih rendahnyaa tingkat teknologi sertaa beraatnya kondisi geografis masa itu, maka banyak desa-desa luar Jawa yang terisolasi, kecil, dan hanya merupakan suatu keluarga meluas (extended family). Kecuali hidup dalam rumah adat bersama-sama, kehidupan mereka secara keseluruhan diatur oleh sistem kekerabatan. Untuk desa-desa semacam ini hakekatnya belum memiliki lembaga pemerintahan. Secara umum, intervensi kekuatan supra desa di desa-desa luar Jawa, baik yang telah memiliki lambaga pemerintahan maupun yang tidak, dapat disimpulkan lebih kecil daripada desa-desa di Jawa. Sehingga, desa-desa tersebut masih memiliki adat-istiadat atau tradisi yang kuat.
            Di Jawa rusaknya tradisi (detradisionalisasi) asli desa tidak saja disebabkan oleh intervensi kekuasaan kerajaan (kerato), melainkan juga terlebih oleh intervensi kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, terutama sejak jaman cultuurstelsel. Cultuurstelsel ini hakekatnya merupakan pengembangan landrent yang diciptakan oleh Gubernur Rafffles (Inggris). Mengapa perhatian mereka terhadap daerah pedesaan sangat besar? Intinya adalah berdasarkan atas pemikiran dan pemahaman bahwa Jawa adala merupakan daerah agraris. Mayoritas rakyatnya hidup dari pertanian. Maka apabila ingin mendapatkaan keuntungan yang besar dari masyarakat ini, mereka harus memperolehnya dari petani itu. Namun dalam kenyaataannya, kaum ini tidak memiliki lahan pertanian yang cukup karena adanya sistem feodalisme. Oleh karena itu, agar memperoleh keuntungan sebagaimana yang mereka harapkan,desa dengan kaum petaninya harus diperkuat kedudukannya. Ini berarti bahwa petani harus cukup memiliki lahan pertanian, dan desanya juga harus lebih otonom tidak terlalu dikuasai dan dikendalikan oleh kekuatan luar (kerajaan). Untuk mewujudkan strateginya itu, setidak-tidaknya ditempuh dua tindakan. Pertama, hubungan langsung dengan desa (beserta sejumlah peran) yang dimiliki Bupati digantikan oleh pemerintah Belanda. Namun demikian, dalam pelaksanaannya Bupati tersebut masih dipergunakan, sehingga peraturan-peraturan dari pemerintah kolonial Belanda tidak mendapat tentangan dari Bupati. Secara demikian Belanda dapat memasukkan atau bahkan memaksakan progaram kegiatan tertentu ke desa-desa. Ke dua, belanda mengupayakan desa memiliki kedudukan yang lebih kuat dan otonom, sehingga secara demikian mereka telah menciptakan prasarana bagi tercapainya tujuan mereka. Ujud konkrit dari tindakan itu adalah dengan ditetapkannya peraturan-peraturan. Peraturan formaal ini bahkan telah diletakkan landasannya pada masa kekuasaan Raffles, yakni dengan ditetapkannya Revenue Instruction (11 Februari, 1814) yang antara lain mengatur hal pertanahan, kedudukan penguasa umumnya (terutama dalam bidang kepolisian). Dalam jaman pemerintahan kolonial Belanda, peraturan penting yang mereka buat untuk desa setelah Raffles menyerahkan kekuasaannya adalah Regering Reglement (RR) tahun 1854. RR ini antara lain menetapkan bahwa desa berhak memilih kepala desanya sendiri dan kepala desa ini diserahi untuk mengatur rumah tangga desa dengan memperhatikan peraturan-peraturan di atas (Residen).
            Peraturan-peraturan tentang desa yang tercantum dalam RR 1854 ini masih dipandang kurang memberikan landasan yang cukup kuat dalam usaha untuk menguasai desa. Maka pada tahun 1906 dikeluarkanlah peraturan yang mengatur pemerintahan dan rumah tangga desa. Perturan ini disebut Inlandsche Gemeente Ordonaaaantie ( IGO ), yang dimuat dalm Staatsblad 1906 Nomoor 83. IGO ini hanya berlaku di Jawa dan Madura saja. Untuk luar Jawa peraturan serupa itu baru dikeluarkan pada tahun 1938, yakni Inlandsche Gemeente Ordonantie voor de Buiteng Westen (IGOB). IGOB dimuat dalam Staatsblad 1938 Nomor 490.
            Terdapat sejumlah pendapat mengenai IGO dan IGOB tersebut, baik yang pro maupun yang kontra. Dari pihak Belanda sendiri, ada sejumlah tokoh yang pro maupun yang kontra. Yang pro antara lain adalah van Deventer. Menurut tokoh ini dengan adanya IGO dan IGOB maka desa telah diberi dasar hukum untuk menguasai milik desa sendiri. Namun menurut van Vollenhoven dan van Boclcel, IGO dan IGOB kurang memperhatikan sifat-sifat asli dari desa-desa dan merupakan paksaan untuk menggunakan peraturan-peraturan yang bersifat barat. Sekalipun setelah itu diciptakan juga ordonaantie baru, yakni yang dimuat dalam Staatblad 1941 Nomor 536, yang bermaksud memberikan kebebasan berkembang bagi desa-desa, namun sampai jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda tidak sempat dinyatakan berlakunya.
Setelah jaman kemerdekaan, pemerintah Indonesia berusaha segera mengganti peraturan- peraturan kolonial tersebut . Untuk itu pada tahun 1948 ditetapkanlah Undang –Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah , yakni Undang- Undang  Nomor 22 tahun 1948, Undang – Undang ini mengatur pembagian daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa menurut Undang –Undang ini adalah merupakan daerah tingkat tiga yang harus mempunyai otonomi tersendiri yang diatur dengan undang- undang. Karena pelbagai kesulitan , desa otonomi menurut Undang –Undang Nomor 22 Tahun 1948 ini tidak pernah terbentuk.
            Untuk mengusahakan agar terbentuk desa otonom, maka pemerintah membentuk sebuah Komaisariat Urusan Daerah Otonom yang diketuai oleh Sutardjo Kartohadikoesoemo. Komisariat ini juga masih menghadapi kesulitan dalam usaha membentuk Daerah Otonom Tingkat III. Kemudian dibentuk Undang-Undang Nomor I Tahun 1957 tentang Pokok- pokok Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948. Walaupun Undang –Undang Nomor I Tahun 1957 ini telah delapan tahun diperlakukan , namun Daerah Tingkat III tetap belum terbentuk. Usaha lebih lanjut unutk merealisasi terbentuknya Daerah Tingkat III adalah dengan ditetapkannya Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok–pokok  Pemerintahan Daerah  dan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Undang –Undang Nomor 19 Tahun 1965 yangt bermaksud menggantikan peraturan-peraturan yang bersifat kolonial tidak sempat berlaku karena dikeluarkannya perintah untuk menunda berlakunya. Undang–Undang tersebut, selama Undang-undang baru tentang Pemerintahan desa belum terbentuk, maka peraturan lama yang mengatur hal itu tetap berlaku.
            Ini berarti bahwa IGO, IGOB, dan peraturan–peraturan lainnya masih dipergunakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan desa, yakni selama peraturan–perundangan yang menggantikannya belum ditetapkan.





BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Pengertian Lembaga Pemerintahan Desa
            Di Desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan, yakni lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan ditetapkan dengan Peraturan Desa. Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan. Hubungan kerja antara lembaga kemasyarakatan dengan Pemerintahan Desa bersifat kemitraan, konsultatif dan koordinatif.
            Menurut Paul B. Horto dan Chester L. Hunt ( terjemahan, 1987 : 244 ), lembaga adalah suatu sistem norma untuk mencapai tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting.
            Menurut Soerjono Soekanto ( 1986:178 ), lembaga kemasyarakatan adalah merupakan himpunan daripada norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan masyarakat.
            Menurut Koentjaraningrat (1964:113 ), pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan  yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat.
            Dari ke tiga definisi di atas jelas tersirat suatu pengertian bahwa lembaga itu adalah suatu sistem atau kompleks nilai dan norma. Sistem nilai dan norma atau tata kelakuan ini berpusat di sekitar kepentingan atau tujuan tertentu. Sehingga, kompleks nilai dan norma yang ada pada pelbagai lembaga menjadi berbeda pula seiring dengan perbedaan kepentingan yang akan dicapai lewat lembaga-lembaga tersebut. Namun, apabila berbicara tentang pencapaian kepentingannya itu sendiri, maka kita lebih berhubungan dengan konsep asosiasi, bukan lembaga.
            Desa menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa, sedangkan di Nias disebut Salawa dengan istilah desa sebagai banua/kampung. Kepala Desa atau Salawa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Adapun yang menjadi ciri-ciri masyarakat pedesaan antara lain sebagai berikut:
·         Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas-batas wilayahnya.
·         Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan (Gemeinschaft atau paguyuban).
·         Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian. Pekerjaan-pekerjaan yang bukan pertanian merupakan pekerjaan sambilan (part time) yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.
·         Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencarian, agama, adat-istiadat dan sebagainya.
3.2. Peran dan fungsi Lembaga Pemerintahan Desa
Tugas Lembaga Kemasyarakatan Desa meliputi:
·         Menyusun rencana pembangunan secara partisipatif.
·         Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan mengembangkan pembangunan secara partisipatif.
·         Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong, dan swadaya masyarakat.
·         Menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
Lembaga Kemasyarakatan Desa mempunyai fungsi:
·         Penampungan dan penyaluran aspirasi masyarakat dalam pembangunan.
·         Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dalam kerangka. memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
·         Peningkatan kualitas dan percepatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
·         Penyusunan rencana, pelaksana, pengendali, pelestarian dan pengembangan hasil-hasil pembangunan secara partisipatif.
·         Penumbuhkembangan dan penggerak prakarsa, partisipasi serta swadaya gotong royong masyarakat.
·         Pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
·         Pemberdayaan hak politik masyarakat.
            Lembaga Kemasyarakatan Desa sebagai pelaku ditingkat desa memainkan peran yang sangat penting dalam mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Desa yang baik. Beberapa peran yang harus dilakukan oleh lembaga kemasyarakatan Desa dalam mewujudkan Tata Kelola Pemerintahan Desa yang baik antara lain:
·         Mengorganisasikan partisipasi masyarakat.
·         Menguatkan kontrol publik.
·         Menjalin kemitraan dengan pemerintah desa.
3.3. Kasus
Contoh :
·         Disuatu Desa ada bantuan bibit karet, dalam hal ini terjadi pembagian yang tidak tepat sasaran, ada kelompok tani yang dapat namun ada juga yang tidak dapat bantuan dengan merata. Disini peran GAPOTAN belum optimal karena sistem gapotan tersebut bersifat nepotisme.
·         Sejalan dengan semakin merasuknya sistem ekonomi uang di tengah kehidupan masyarakat desa disamping perubahan-perubahan kebudayaan yang diakibatkan oleh peranan media massa (era globalisasi), maka lembaga gotong royong telah mengalami perubahan dan pergeseran-pergeseran.
·         Pemilihan Kepala-kepala Dusun
            Dimana pada saat proses pemilihan kadus masih ada Desa yang didasarkan atas ikatan genealogis (hubungan darah) ini biasanya bagi Desa yang terdapat di luar Jawa, khususnya bagi Desa yang masih menganut pemilihan kadus berdasarkan hubungan darah ini, biasanya sistem kekerabatan dengan aturan adat-istiadat yang sangat besar perananya.Sehingga peranan pemilihan kadus sebenarnya hanya merupakan bagian atau instrument saja dari sistem kekerabatan dan adat istiadat tersebut.



DAFTAR PUSTAKA


Cahyono, Heru, dkk. 2005. Konflik Elite Politik di Pedesaan. Yogya: Pustaka Pelajar.
Cahyono, Heru.1999. Dinamika Demokratisasi Desa di Beberapa Daerah di Indonesia Pasca       Jakarta: LIPI.
Chabal, Patrick, and Jean Pascal-Daloz. 2006. Culture Troubles, Politics and The Interpretation    of Meaning, (London: Hurst & Co).
Collin, P.H. 2004.  Dictionary of Politics and Government. London: Bloomsbury.
Hidayat, Syarif. 2000. Refleksi Realitas Otonomi Daerah dan Tantangan Ke Depan. Jakarta:        Pustaka Quantum.
Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta: Gadjah Mada            University Press.
Reid, Anthony. 2006. Verandah of Violence, the Background to the Aceh Problem.            Singapore: NUS Publishing.
Tjiptoherijanto, Prijono dan Yumiko M. Prijono. 1983. Demokrasi di Pedesaan Jawa.        Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.




''Lembaga Pemerintahan dan Pimpinan Desa''
OLEH:
KELAS : B
KELOMPOK : 1
                                         NAMA ANGGOTA :
1.     DEVI LIANA                             D1A011033
2.    INRA SITUMORANG                D1A011034
3.    AHMAD JANUARI                    D1A011035
4.    RAMADHANO                           D1A011036
5.    YENNI ZUNNIZA                     D1A011037


FAKULTAS PERTANIAN
AGROEKOTEKNOLOGI
UNIVERSITAS JAMBI TAHUN 2012/2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar